Indonesia dan Malaysia adalah dua negara penghasil sawit terbesar di dunia. Sekitar 85 persen kebutuhan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia dipenuhi oleh Indonesia dan Malaysia. Ekspor CPO menyumbang 5 persen hingga 7 persen terhadap produk domestik bruto di kedua negara.
Dalam kurun 20 tahun, 1995-2015, produksi CPO global meningkat dari 15,2 juta ton mejadi 62,6 juta ton. Thomas Mielke, analis Oil World, memperkirakan produksi CPO dunia tahun 2020 mencapai 78 juta ton. Dari jumlah itu, 42 juta ton diproyeksikan berasal dari Indonesia dan 23 juta ton dari Malaysia, sisanya dari Thailand (2,8 juta ton), Kolombia (1,6 juta ton), Nigeria (1,3 juta ton), serta berbagai negara lainnya.
Tahun 2018, menurut siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak sawit Indonesia secara keseluruhan (CPO dan produk turunannya, biodisel dan oleochemical), mencapai 34,71 juta ton. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya, yang 32,18 juta ton.
Produksi CPO Indonesia diperkirakan tidak akan mencapai 42 juta ton, sebagaimana diperkirakan oleh Mielke, karena melambatnya perluasan lahan sawit beberapa tahun terakhir. Luas perkebunan sawit di Indonesia, menurut catatan Sawit Watch, sudah mencapai 22,2 juta hektar. Ketua Umum Dewan Sawit Indonesia Derom Bangun mengakui, sulitnya perluasan lahan dan perizinan, serta perhatian besar terhadap masalah lingkungan, menjadi faktor penghambat pertumbuhan produksi CPO Indonesia.
Presiden Joko Widodo menghentikan sementara (moratorium) perizinan lahan kelapa sawit dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produkstivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Kebijakan tersebut mendapat apresiasi dari berbagai organisasi nonpemerintah. Sawit Watch menilai, dengan moratorium, pemerintah mencoba memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, memberi kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan –termasuk penurunan emisi gas rumah kaca— serta untuk peningkatan pembinaan petani sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit.
Selama ini berbagai masalah timbul sebagai ekses pengembangan perkebunan kelapa sawit, mulai dari konflik lahan hingga dampak lingkungan. Pekan lalu, misalnya, warga dari lima desa di Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, berunjuk rasa menolak perkebunan sawit di sekitar pemukiman mereka. Mereka menolak kehadiran PT Kapuas Sawit Sejahtera yang mulai membuka lahan (land clearing) di wilayah lima desa tersebut (Kompas, 15/4/2019). Data Sawit Watch menunjukkan, telah terjadi sebanyak 750 konflik di perkebunan sawit.
Pembukaan lahan perkebunan sawit berkontribusi terhadap kerusakan hutan. Menurut Global Forest Watch, dalam kurun 2001-2017, Indonesia kehilangan 24,4 juta hektar tutupan pohon (setara dengan 2,44 gigaton emisi CO2) akibat alih fungsi lahan. Malaysia kehilangan 7,29 juta hektar tutupan pohon pada periode yang sama. Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca kelima terbesar di dunia, terutama karena alih fungsi hutan.
Sebuab hasil penelitian yang diterbitkan pada Februari tahun lalu dalam jurnal Cell Biology, menyebutkan sekitar 150.000 orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) hilang antara 1999 dan 2015, sebagian akibat ekspansi perkebunan sawit. IUCN menyatakan sebanyak 193 jenis hewan (termasuk gajah hutan afrika dan simpanse) yang berstatus kritis, hampir punah, dan rentan, secara langsung berada dalam ancaman industri sawit.