Entah sudah berfirasat, Presiden Soekarno pun membuat wasiat. Tahun 1966, usia Soekarno 65 tahun. Namun, ia memang sudah berada pada ”akhir kejayaan” ketika kehidupan politiknya mulai dibatasi. Apalagi sejak hampir dua bulan setelah kekuasaan dipegang pengemban mandat Supersemar, Jenderal Soeharto, kekuasaan Soekarno nyaris tak bertaji lagi.
Wasiat itu pun disampaikan Soekarno di depan sidang paripurna kabinet luar biasa di Istana Negara pada Kamis, 21 April 1966. Permintaan Soekarno itu didengar oleh semua anggota kabinet yang hari itu hadir lengkap, mulai dari wakil perdana menteri, menteri, hingga deputi menteri.
Memang banyak makam pemimpin negara dibuat menjadi bangunan khusus. Contohnya kompleks makam raja-raja kuno Mesir di dalam piramida. Makam pemimpin Uni Soviet, Vladimir Lenin, di mausoleum di areal Kremlin di kawasan Lapangan Merah, Moskwa, yang tersohor itu. Soekarno mungkin tak ingin seperti itu. Apa wasiat Soekarno? Permintaannya sederhana saja.
Bila nanti meninggal, bahkan Soekarno tidak ingin dimakamkan di taman makam pahlawan (TMP). Soekarno cuma ingin dimakamkan di bawah pohon rindang supaya dirinya bisa berhadapan dengan Tuhan dalam suasana tenang dan damai. Dan, di batu nisan cuma ditulis: ”Di sini Dikuburkan Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat”.
Soekarno memang suka sekali berdiam di bawah pohon. Ia suka merenung di bawah naungan dedaunan yang teduh seperti waktu dibuang Belanda ke Ende, Flores, pada 1934-1939. Waktu merenung di bawah pohon sukun bercabang lima di tepi pantai sambil menatap ke arah laut lepas, Laut Sawu, itulah yang melahirkan Pancasila, lima sila yang jadi fondasi atau dasar negara.
Sesuai wasiatnya, Soekarno saat meninggal pada 21 Juni 1970 akhirnya dimakamkan di Blitar, di sisi kedua orangtuanya. Di bawah bangunan joglo, makam Soekarno dikelilingi pepohonan rindang. Soekarno dan juga Hatta, dwitunggal itu, memilih dimakamkan di tempat biasa. Begitulah watak pemimpin besar: sangat bersahaja. (SSD)