Jatuhnya pesawat Boeing 707 Pan Am di Bukit Tinga-Tinga, Buleleng Barat, Bali, 22 April 1974, mengubur impian pasangan pengantin yang hendak berbulan madu di Pulau Dewata. Setidaknya dua pasang pengantin menjadi bagian dari 107 penumpang/awak yang tewas dalam penerbangan itu. Selain Jepang, sebagian penumpang pesawat juga berkewarganegaraan Perancis, Australia, dan Filipina.
Kompas edisi 25 April 1974 memberitakan, pesawat sedianya transit di Bandara Ngurah Rai sebelum melanjutkan penerbangan ke Sydney, Australia. Sekitar 5 menit menjelang pendaratan di Denpasar (22.30 Wita), ”burung besi” yang dioperasikan maskapai penerbangan dari Amerika Serikat itu jatuh di tebing Bukit Tinga-Tinga, kira-kira 78 kilometer barat laut Bandara Ngurah Rai.
Di tengah fenomena penerbangan menjadi tulang punggung mobilitas warga, kejadian serupa terus terulang. Hampir setiap tahun terjadi kecelakaan penerbangan di Tanah Air. Berbagai faktor jadi penyebab, mulai dari cuaca buruk, aspek teknis pesawat, hingga human error.
Masih segar dalam ingatan, jatuhnya pesawat Adam Air di perairan Majene, Sulawesi Barat, yang mengangkut 96 penumpang/awak dalam rute Surabaya-Manado (1/1/2007); serta jatuhnya pesawat Air Asia A320 di Selat Karimata yang mengangkut 162 penumpang/awak dari Surabaya tujuan Singapura (28/12/2014).
Kejadian terbaru, jatuhnya Lion Air JT-610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat (29/10/2018). Pesawat itu mengangkut 188 penumpang/awak rute Jakarta-Pangkal Pinang.
Otoritas penerbangan Eropa 2007-2018 melarang maskapai penerbangan Indonesia menjangkau wilayah itu. Untunglah, belakangan embargo dicabut setelah pihak maskapai berbenah untuk memenuhi standar keselamatan.
Membangun bandara di sejumlah wilayah Tanah Air penting. Namun, tak kalah pentingnya adalah tanggung jawab para pemangku kepentingan mewujudkan moda transportasi udara yang aman dan nyaman. (NAR)