Evakuasi 900 warga Amerika Serikat dari Saigon, yang kini disebut Ho Chi Minh City, di Vietnam Selatan, 29 April 1975, diliputi ketegangan. Operasi pengungsian dilakukan tergesa-gesa atas perintah presiden ke-38 AS, Gerald Rudolph Ford Jr.
Evakuasi dilakukan bersamaan dengan serangan artileri berat terhadap berbagai sarana vital di Vietnam Selatan.
Perintah Ford terbit setelah ia diberi ultimatum oleh presiden baru Vietnam Selatan, Jenderal Duong Van Minh alias ”Minh Besar”, bahwa semua warga AS harus angkat kaki dari negara itu dalam 24 jam. Ultimatum bertujuan menciptakan jeda perang dan perundingan damai dengan pihak komunis, Vietnam Utara (Kompas, 30/4/1975).
Kala itu, Vietnam terbelah perang saudara sejak November 1955. Republik Demokrat (Vietnam Utara) yang didukung Rusia, China, dan sekutu-sekutunya berperang melawan Republik Vietnam (Vietnam Selatan) yang disokong AS serta sekutu-sekutunya.
Perang berakhir dengan kejatuhan Saigon pada 30 April 1975 ke tangan tentara komunis, Tentara Rakyat Vietnam (NVA), yang oleh AS disebut Vietcong. Kejatuhan Saigon, ibu kota Vietnam Selatan, menandai berakhirnya perang paling brutal sekaligus awal dari periode transisi reunifikasi Vietnam, yang kelak pada 2 Juli 1976 menjadi satu negara: Republik Sosialis Vietnam.
Jatuhnya Saigon ke tangan kekuatan komunis sekaligus mengakhiri keterlibatan resmi pasukan AS selama 30 tahun di sana. Perang Vietnam menewaskan ratusan ribu hingga 1,28 juta orang dari kedua kubu.
Sebagai kelanjutan dari pengambilalihan wilayah selatan dan berdirinya Republik Sosialis Vietnam, kekuatan komunis melarang partai politik lain dan memenjarakan semua orang yang dipercayai berkolaborasi dengan AS.
Hanoi kala itu pun memulai kampanye massal tentang kolektivisasi pertanian dan pabrik-pabrik. Namun, Partai Komunis Vietnam pada 1986 membuat perubahan besar dengan menerapkan reformasi pasar bebas yang dikenal dengan doi moi atau pembaruan. (CAL)