Sistem karcis untuk bus kota sebenarnya sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Sayangnya, kebijakan itu hilang. Pengemudi bus pun ugal-ugalan dengan alasan mengejar setoran.
Ketika pada awal Mei 1973, gagasan sistem karcis dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, banyak hal yang perlu dibenahi, seperti sistem borongan yang membuat sopir berlomba-lomba untuk mengangkut penumpang sebanyak mungkin. Bus juga dioperasikan untuk menjalani hingga 10-12 rit (satu rit adalah satu kali perjalanan pergi-pulang).
Karena itu, agar pendapatan sopir dan kondektur lebih stabil, harus ada pemasukan yang pasti serta terkontrol. Dengan tarif yang dinaikkan dari Rp 15 menjadi Rp 20 per penumpang dan jumlah maksimal penumpang 50 orang per bus (kecuali bus PPD yang lebih besar, 65 orang), pengemudi bisa memperoleh minimal Rp 27.500 serta kondektur Rp 12.500 per bulan.
Sebelumnya, dengan sistem borongan, seorang pengemudi bus memperoleh pendapatan Rp 50.000-Rp 60.000 per bulan. Mengingat pendapatan awak bus akan berkurang, muncul tantangan tersendiri ketika sistem karcis diterapkan. Namun, lewat sistem ini, uang yang diperoleh akan mudah dikontrol.
Pemasukan ini bakal digunakan untuk membiayai pengoperasian bus, termasuk membayar gaji karyawan. Untuk mengawal kebijakan sistem karcis, Gubernur DKI melantik 179 polisi khusus (polsus) bus kota pada 3 Mei 1974. Mereka bertugas menjaga keamanan dan ketertiban bus.
Seragam petugas itu adalah baju lengan pendek biru muda, celana biru tua, memakai sabuk, topi putih, serta sepatu lars hitam. Polsus diberi wewenang untuk menindak penumpang yang tak mau membayar dengan menjatuhkan denda maksimal Rp 10.000. Sanksi juga diberikan terhadap sopir dan kondektur yang tidak mematuhi aturan.
Polsus tak hanya berdiri di halte, tetapi sesekali naik ke bus untuk memeriksa karcis. Setelah satu bulan sistem karcis berjalan, tampak beberapa hasil positif. Penumpang tak lagi dipaksa oleh kondektur untuk berjejal-jejalan. Pemakai jalan lain juga lebih nyaman karena bus kota tak lagi ugal-ugalan. (JPE)