Bogor menjadi pemasok utama batu dan pasir untuk pembangunan di Jakarta, terutama untuk pembangunan jalan, gedung, serta perumahan. Pada 1973, tidak kurang dari 1 juta ton pasir dan batu dikirim dari Bogor ke sejumlah kawasan di Jakarta (Kompas, 7 Mei 1973).
Bupati Bogor saat itu, Wissatya Sasemi, mengatakan, sekitar 2.000 hektar lahan di Bogor merupakan kawasan pasir dan batu yang tidak akan habis digali selama 200 tahun meski setiap hari diangkut 1.000 meter kubik pasir dan batu.
Daerah yang banyak mengandung batu terutama di Bogor bagian barat, yakni Gunung Dago, Gunung Sidamani, dan Gunung Salak. Kawasan itu mengandung sekitar 3,75 juta meter kubik pasir dan batu.
Harga batu di kawasan itu berkisar Rp 500-Rp 700 per meter kubik. Adapun harga pasir beton Rp 350-Rp 400 per meter kubik. Harga itu cukup mahal karena sebagai perbandingan, harga beras cianjur dan rojolele saat itu berkisar Rp 110-Rp 125 per kilogram.
Saat itu Kabupaten Bogor memasok sekitar 70 persen kebutuhan pasir dan batu untuk sekitar Jakarta. Ada 188 pengusaha galian C di Bogor saat itu dengan luas area pertambangan 1,23 juta meter persegi. Daerah pemasok lainnya adalah Serpong dan Rawa Kucing di Kabupaten Tangerang serta Kabupaten Bekasi dan Karawang.
Maraknya pertambangan pasir ternyata mulai membawa bencana. Pendapatan asli daerah sebesar Rp 350 juta setahun tidak sebanding dengan kerugian yang dialami.
Tahun 1977, misalnya, terjadi banjir besar akibat meluapnya Sungai Cipamingkis di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, yang merusak rumah-rumah penduduk dan persawahan. Padahal, kawasan itu sebelumnya tidak pernah dilanda banjir.
Di Kabupaten Bogor pada 1977 terdapat 16.769 hektar lahan kritis yang sebagian besar akibat pertambangan. Ditambah curah hujan yang tinggi serta hari hujan di Bogor yang mencapai 218 hari per tahun, lahan kritis ini membawa banjir kiriman ke Jakarta. Melihat dampaknya yang luar biasa, penambangan pasir dan batu di Bogor secara bertahap dihentikan. (THY)