Jika Anda pemerhati film Indonesia, mungkin masih ingat film komedi berjudul Cintaku di Rumah Susun. Film garapan sutradara Nya’ Abbas Akup (1987) ini mengisahkan kehidupan di hunian sederhana yang dibangun secara vertikal. Interaksi sosial yang gagap dan naif ditampakkan para penghuni dalam bauran kultur kampung dan kota.
Tak banyak yang tahu bahwa rumah susun yang belakangan tumbuh masif di perkotaan adalah pengembangan dari proyek pembangunan rumah secara massal. Pola bersusun dipilih sebagai upaya menyiasati menciutnya lahan perkotaan di tengah arus urbanisasi.
Pembangunan rumah secara massal berawal dari upaya Departemen Dalam Negeri memenuhi kebutuhan papan bagi warga perkotaan. Seperti diberitakan Kompas, 10 Mei 1975, Sekjen Departemen Dalam Negeri Sunandar Prijosudarmo mengajak 11 wali kota dan 9 bupati untuk merintis proyek pembangunan rumah secara massal di daerah masing-masing. Ke-11 daerah itu antara lain Surabaya, Ujungpandang, Medan, Padang, Palembang, Yogyakarta, Surakarta, Bandung, Bogor, dan Cirebon.
Pertemuan itu dihadiri pejabat dari Perum Perumahan Nasional (Perumnas) dan Bank Tabungan Negara. Dua institusi ini adalah motor dari pembangunan perumahan rakyat.
Enam tahun kemudian, tepatnya 21 April 1981, Presiden Soeharto meresmikan rumah susun pertama untuk rakyat di Jakarta, yaitu Rusun Kebon Kacang, Tanah Abang. Pembangunan rusun tidak hanya untuk menyediakan rumah murah bagi rakyat, tetapi juga menata kawasan kumuh.
Kini, pemenuhan hak dasar rakyat yang dijamin konstitusi tersebut terkendala. Beberapa di antaranya adalah perizinan, ketersediaan lahan, dan daya beli masyarakat.
Harga rumah lebih cepat naik dibandingkan dengan daya beli masyarakat. Kenaikan pendapatan pekerja pada kelompok milenial—mereka yang lahir setelah tahun 1980—yang paling membutuhkan rumah saat memasuki usia lebih mapan kalah cepat dibandingkan dengan kenaikan harga rumah. (NAR)