Sekali peristiwa di Jalan Taman Suropati 7, Jakarta, Gubernur Ali Sadikin bertemu dengan sejumlah seniman terkemuka. Di rumah dinas gubernur itu, ia mengungkapkan akan membuka pusat kesenian di Cikini. Untuk pemikiran, penentuan program, dia memercayakan sepenuhnya kepada para seniman. Itulah embrio lahirnya Dewan Kesenian Djakarta (DKD) yang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan kemudian dikenal sebagai DKJ.
Gubernur menunjuk sastrawan Gayus Siagian, Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan sineas Djaduk Djajakusuma untuk membentuk dewan. Lalu, diadakan pertemuan dengan budayawan, seperti Trisno Sumarjo, Rosihan Anwar, Ajip Rosidi, HB Jassin, Zaini, dan aktor film Rendra Karno. Terpilih pengurus harian, yaitu Trisno Sumarjo, Arief Budiman, dan D Djajakusuma.
Arief Budiman mengusulkan agar urusan kesenian dipercayakan kepada seniman, sedangkan soal manajemen diserahkan kepada profesional di bidangnya.
Maka, dalam susunan pengurus pertamanya yang dilantik pada 22 Juni 1968, seorang pengusaha bernama Suparman dipilih menjadi general manager. Sementara pengurus harian adalah Ketua Trisno Sumardjo, Wakil Ketua I Arief Budiman, dan Wakil Ketua II D Djajakusuma.
Ali Sadikin tidak ingin pembentukan Dewan Kesenian Jakarta ditafsir sebagai upaya memolitikkan kebudayaan. Masa itu sudah lampau. Kini saatnya dihormati asas seni untuk seni. Goenawan Mohamad mengusulkan agar seni kreatif dibedakan dengan seni komersial.
Umar Kayam, yang menjadi Ketua DKJ pada 1969, memberikan keleluasaan kepada Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, untuk menampilkan berbagai bentuk kesenian dan ekspresi kesenian. Termasuk seni hiburan yang disebut sebagai kitsch.
Pembacaan puisi, pameran seni rupa, pentas teater, wayang orang, dan reog bisa tampil di TIM. Bahkan, kalau Beatles datang ke Jakarta, Kayam akan memperbolehkan. Tahun 1971, band Rollies tampil di TIM. Begitu pula Koes Plus tampil di TIM dalam pekan seni kontemporer. (XAR)