Kegundahan akan tergerusnya bahasa Indonesia oleh bahasa asing bukan baru belakangan ini muncul. Sekitar 45 tahun silam, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sudah menunjukkan kepeduliannya secara konkret dengan mengganti nama ruang-ruang publik dari semula nginggris menjadi kental Indonesia.
Dalam berita yang dimuat Kompas edisi 18 Mei 1974, Ali Sadikin menyerukan, papan nama kantor, gedung, dan toko di wilayah DKI Jakarta, yang menggunakan bahasa Inggris, segera diganti dengan memanfaatkan momentum Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Tempat-tempat yang mendesak diganti papan nama asingnya adalah yang terletak di jalan-jalan protokol.
Saat itu, Bang Ali setidaknya telah menetapkan 15 tempat yang berganti nama. Contohnya, city hall diganti menjadi balai kota, operation room menjadi ruang pola, health centre menjadi pusat kesehatan, dan sport centre menjadi gelanggang olahraga.
Sekitar dua tahun lalu, Gubernur DKI Anies Baswedan pun membuat terobosan dengan memanfaatkan momentum hadirnya infrastruktur canggih di Ibu Kota. Mass rapid transit yang selama ini lekat dengan nama ”MRT” diganti menjadi moda raya terpadu. Semanggi Interchange diubah menjadi Simpang Susun Semanggi. Adapun jaringan terpadu transportasi umum Jakarta OK OTrip diubah menjadi JakLingko. Jak bermakna Jakarta, sedangkan lingko dari bahasa daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang menggambarkan jaringan laba-laba dalam irigasi lahan.
Langkah Bang Ali dan Anies menunjukkan semangat cinta Tanah Air. Diplomasi budaya yang melekatkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia pada sarana strategis diharapkan membendung kegandrungan pada bahasa asing. Amat disayangkan, belakangan ini muncul kembali istilah health center untuk pusat-pusat kebugaran serta sport center untuk gelanggang olahraga. Perumahan mewah kian jemawa dengan istilah regency. (NAR)