Fenomena perguruan tinggi abal-abal, atau sekadar papan nama, bukan kali ini saja terjadi. Sejak awal Orde Baru sudah bermunculan perguruan tinggi yang statusnya tidak jelas karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan dari segi fasilitas, tenaga pengajar, keuangan, dan sebagainya. Perguruan tinggi semacam ini tentu saja merugikan mahasiswa dan dunia pendidikan.
Harian Kompas terbitan 20 Mei 1975, misalnya, memberitakan, 17 perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah dicabut izinnya. Mereka tidak diizinkan beroperasi karena tidak memenuhi syarat minimal, seperti jumlah dosen, ruang kuliah, dan jumlah mahasiswa.
Sampai akhir 1974, tercatat ada 67 perguruan tinggi yang membuka kegiatan akademis di Jawa Tengah. Namun, 17 perguruan tinggi di antaranya dengan 37 fakultas tidak memenuhi syarat minimal sehingga terpaksa dicabut izinnya.
Kini jumlah perguruan tinggi sudah melimpah. Sampai akhir tahun lalu tercatat ada 600 universitas, 2.554 sekolah tinggi, 1.047 akademi, 290 politeknik, dan 228 institut yang tersebar di seluruh Tanah Air. Perguruan tinggi tersebut memiliki 15.451 program studi yang sangat beragam. Paling banyak program studi pendidikan, yakni 5.023, kemudian 2.975 program studi sosial, dan 2.884 program studi teknik.
Jumlah mahasiswanya lebih dari 7 juta mahasiswa dan paling banyak menempuh bidang studi pendidikan, yakni 1,41 juta mahasiswa, disusul ekonomi 1,18 juta mahasiswa, dan ilmu sosial 1,07 juta mahasiswa. Adapun jumlah dosennya 41.504 berpendidikan S-1, sebanyak 119.959 berpendidikan S-2, serta 21.872 berpendidikan S-3. Adapun jumlah guru besar tercatat 4.949 orang.
Pertanyaan besarnya adalah apakah kita pernah menghitung secara cermat kebutuhan sarjana berdasarkan bidang studi atau keahlian untuk 20-30 tahun ke depan? Kini, memberi izin perguruan tinggi saja tidak cukup. Melakukan kalkulasi kebutuhan keahlian juga sangat penting. Jangan sampai perguruan tinggi banyak, tetapi sarjana menganggur juga melimpah. (THY)