Mengapresiasi tokoh yang dianggap berjasa menginspirasi kehidupan berbangsa sudah menjadi tradisi dari masa ke masa. Harian Kompas edisi 21 Mei 1976 memberitakan, Menteri Penerangan Mashuri memberikan gelar ”Perintis Pers Indonesia” kepada tiga tokoh pers, yakni (alm) Ki Hadjar Dewantara, (alm) Haji Mohammad Djamil Gelar Mangaradja Ihutan, dan Mohammad Koerdi. Mereka dianggap memelopori perjuangan nasional bangsa ini melalui pers.
Pemberian penghargaan itu disampaikan Mashuri dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Pers pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1976. Pada masa itu, posisi Ketua Dewan Pers dirangkap oleh Menteri Penerangan.
Jabatan rangkap itu berlanjut, hingga kemudian Departemen Penerangan dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid tahun 1999. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, Dewan Pers menjadi lembaga independen yang bertugas mengawal penegakan etika dan profesionalisme pers nasional.
Pada gilirannya, pemberian penghargaan kepada media bergeser dari momentum Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei) ke Hari Pers Nasional (HPN) setiap 9 Februari.
Di balik penghargaan itu tertitip harapan kiranya pers tetap menyajikan informasi yang mencerahkan masyarakat. Media dalam segala variannya turut bertanggung jawab membangun bangsa dan meningkatkan daya saing di era globalisasi. Salah satunya dengan menyajikan pemberitaan yang beretika, membangun optimisme dan etos kerja, sehingga bangsa ini berdaya saing di kancah global.
Pada peringatan HPN 2016 di Mataram mencuat harapan, di tengah masifnya penyebaran hoaks, media konvensional dituntut berperan sebagai penjernih informasi sehingga masyarakat tidak terombang-ambing menyikapi persoalan.
Terakhir, pada HPN 2019 di Surabaya membuncah harapan agar media konvensional dan digital bersinergi ikut menguatkan ekonomi kerakyatan demi mencapai masyarakat adil dan makmur. (NAR)