Membangun literasi media tergolong tantangan yang melintas zaman. Pada awal 1970-an, begitu sulit menyebarkan informasi yang mencerahkan bagi masyarakat lantaran minimnya warga yang terjangkau media massa. Kini, pada era digital, ketika perangkat informasi sudah dalam genggaman di hampir setiap warga, tantangannya justru bagaimana menapis informasi yang meluber dari segala penjuru.
Harian Kompas edisi 11 dan 12 Juni 1974 mewartakan, dari 120 juta penduduk Indonesia (masa itu), baru sekitar 50 juta orang yang terjangkau media massa (koran, radio, dan televisi). Hal ini dicuatkan Menteri Agama Mukti Ali dalam forum penataran wartawan bidang agama di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Solusi yang ditawarkan kala itu adalah memberdayakan pemimpin informal untuk menjadi semacam penyambung lidah informasi dari media massa.
Pemimpin informal yang dimaksudkan adalah tokoh-tokoh bidang agama, seni, dan budaya. Melalui kegiatan khotbah di rumah ibadah ataupun pentas wayang, ketoprak, ludruk, dan sejenisnya di tempat umum, diharapkan terjadi penyebaran informasi antarpersona. Pola ini berkembang pesat pada masa Menteri Penerangan Harmoko (1983–1997).
Terdapat benang merah dari situasi yang berbeda. Dulu, informasi tersebar dari mulut ke mulut. Kini, seiring pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, informasi menyebar masif melalui ujung jari. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat, penetrasi internet di Indonesia pada 2017 menjangkau 143,2 juta jiwa. Adapun populasi penduduk Indonesia pada 2017 sebanyak 262 juta orang. Artinya, jumlah pengguna internet di Indonesia lebih dari setengah jumlah penduduk negeri ini, yaitu 54,68 persen (Kompas, 31 Agustus 2017).
Media baru yang lahir dari inovasi digital memengaruhi cara masyarakat mengonsumsi informasi. Spektrumnya tak lagi sekadar di ranah kognisi (pengetahuan), tetapi sudah merambah kebutuhan hidup sehari-hari. Media konvensional harus beradaptasi dengan zaman dan perilaku masyarakat. (NAR)