Berita tentang pulihnya kembali hubungan Amerika Serikat dan Mesir, yang ditandai pertemuan Presiden Richard Nixon dan Anwar Sadat (Kompas, 13/6/1974), mengembuskan angin segar bagi proses perdamaian Timur Tengah. Rakyat di kawasan itu merindukan perdamaian sejati sehingga mereka pun amat mengelu-elukan kedatangan Nixon.
Lawatan Nixon ke Kairo merupakan yang pertama dilakukan Presiden AS sejak akhir Perang Dunia II. Peristiwa ini bersejarah karena mengakhiri permusuhan lama AS-Mesir. AS-Mesir sudah bersitegang akibat Krisis Suez (Juli 1956) yang diikuti invasi Israel ke Mesir (Oktober 1956), hampir dua dasawarsa sebelum Nixon-Sadat bertemu.
Puncak ketegangan AS-Mesir adalah putusnya hubungan diplomatik mereka pada 6 Juni 1967 akibat perang Arab-Israel. Namun, 3,5 bulan sebelum pertemuan Nixon- Sadat, tepatnya 24 Februari 1974, hubungan pulih kembali. Perkembangan seperti inilah yang membuat ”AS-Mesir Bermesraan dalam Diri Nixon-Sadat”.
Pertemuan Nixon-Sadat tidak terlepas dari peran Menlu AS Henry Kissinger. Nixon tidak akan ke Kairo selepas dari Salzburg, Austria, Rabu (12/6/1974), jika Kissinger tidak mengancam untuk meninggalkan jabatannya.
Dua jam seusai jumpa pers Kissinger soal Mesir, situasi Timur Tengah, dan ancamannya itu, barulah Sekretaris Pers Nixon, Ronald Ziegler, menegaskan, ”presiden berniat melanjutkan perjalanan”. Sebenarnya, jika saja Kissinger tidak mengancam, hampir mungkin rencana Nixon ke Timur Tengah menjadi kacau balau.
Persoalan yang dirisaukan Kissinger ialah menguatnya militer Uni Soviet di Timur Tengah. Sadat juga ingin mengetahui upaya Nixon memperkecil pengaruh Soviet di kawasan. Sejak masa Sadat, Mesir menjauhi Soviet (JB Alterman, ”Sadat and His Legacy: Egypt and The World, 1977-1997”).
Hubungan AS-Mesir dimulai sejak 1922 setelah Mesir mendapatkan kemerdekaan dari Inggris. Hubungan itu tak pernah stabil. Kini, pada masa Donald Trump dan Abdel Fatah el-Sisi, hubungan AS-Mesir kembali mesra. (CAL)