Pembenahan transportasi di Jakarta oleh Pemerintah DKI tidak hanya dengan menambah armada dan memperbanyak trayek, tetapi juga memperhatikan kualitas sumber daya manusianya. Hal ini seperti tertuang dalam surat keputusan gubernur pada 10 Desember 1971.
Dalam SK tersebut ditegaskan, pengemudi taksi harus berpakaian seragam yang bersih dan rapi serta bersepatu saat bertugas. Namun, penerapan peraturan ini tidak mudah. Banyak pengemudi taksi yang membandel.
Dua tahun menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON) IX di Jakarta, 23 Juli-3 Agustus 1977, pemda DKI secara rutin melakukan razia terhadap pengemudi bus dan kondektur bus soal pemakaian seragam. Tujuannya agar tamu-tamu dari luar daerah merasa nyaman dengan fasilitas angkutan umum di Jakarta.
Karena sanksinya pencabutan surat izin mengemudi (SIM) bagi sopir yang melanggar, ketentuan ini dipatuhi. Namun, saat selesai PON dan razia jarang lagi dilakukan, kewajiban menggunakan seragam bagi sopir dan kondektur bus kembali diabaikan. Beberapa bus Solo Bone di Terminal Lapangan Banteng, misalnya, terlihat sopir dan kondekturnya tidak mengenakan seragam.
Bahkan, lantai bus keropos, sandaran kursi terlepas, dan tutup mesinnya tidak sempurna (Kompas, 30/10/1977). Di bus lain terlihat sopir memakai baju seragam merah tua dan kondektur menggunakan seragam jingga, tetapi keduanya menggunakan sandal jepit. Bahkan, kondektur berambut gondrong acak-acakan.
Kompas yang mencoba naik bus Merantama jurusan Lapangan Banteng-Grogol melihat sopirnya menggunakan seragam, tetapi kondekturnya tidak mengenakan seragam. Ternyata hal ini disebabkan sopir mengajak kondektur bekerja di luar jam kerjanya tanpa sepengetahuan pengusaha. Beberapa kali petugas Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) melihat mereka, tetapi tetap saja dibiarkan. (JPE)