Pada Sabtu, 19 Juni 1971, harian Kompas menurunkan berita tentang rencana peresmian pabrik penggilingan terigu pertama di Indonesia milik PT Bogasari. Pabrik itu dibangun di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan bakal diresmikan Agustus atau lebih kurang dua bulan setelah berita ini naik cetak.
Untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar, Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) Mayjen Tirtasudiro dan Dirjen Perhubungan Laut Laksda (L) Harjono Nimpuno pada Kamis (17/6/1971) meninjau langsung lokasi pabrik.
Direktur PT Bogasari (tidak disebutkan namanya dalam berita) mengatakan, dalam perencanaan perusahaan, selain di Jakarta, pihaknya juga membangun pabrik di Surabaya dengan total empat pabrik yang menelan biaya keseluruhan lebih dari 5 juta dollar AS.
Pada 1971, kurs dollar AS terhadap rupiah sekitar Rp 400 per dollar. Dengan kata lain, biaya pembangunan empat pabrik itu jika dikurskan adalah Rp 2 miliar.
Jika memakai kurs saat ini yang berkisar Rp 14.500 per dollar, biaya pembangunan empat pabrik itu menelan biaya Rp 72,5 miliar atau 36 kali lipat dari angka 1971. Sebagai gambaran, harga beras per kilogram pada 1971 berkisar Rp 50, sedangkan saat ini sekitar Rp 11.500 per kilogram atau 230 kali lipat dari harga beras pada 1971.
Pada 2018, PT Bogasari Flour Mills menguasai sekitar 51 persen pangsa pasar tepung terigu nasional, sementara beberapa perusahaan lain menguasai sisanya dengan pangsa terbesar tidak lebih dari 20 persen.
Tepung terigu sebenarnya merupakan industri strategis yang dilindungi oleh regulasi ketat melalui SK Menteri Perdagangan No 21/1971 yang menetapkan Bulog sebagai satu-satunya lembaga yang berhak melakukan impor gandum dan tepung terigu. Bulog juga satu-satunya lembaga yang berhak mendistribusikan tepung terigu.
Namun, setelah krisis moneter 1998, Bulog terpaksa melepaskan hak-hak eksklusifnya tersebut melalui Keppres No 19/1998 yang menghapuskan monopoli lembaga tersebut. Sejak saat itu, PT Bogasari menjelma menjadi raksasa perteriguan nasional. (joy)