Pada awal Mei 1969, Pemerintah DKI Jakarta membangun sebuah tower clock (menara yang di atasnya dipasangi jam berukuran raksasa) di perempatan Jalan MH Thamrin dan Kebon Sirih. Bangunan bernilai Rp 2 juta ini memiliki penampang berukuran 1,7 meter x 1,7 meter dengan menara setinggi 12,5 meter. Sebuah jam sumbangan Enicar SA, Swiss, dipasang di situ.
Pada Sabtu (21/6/1969) pagi, tower clock Thamrin diresmikan Gubernur Ali Sadikin. Upacara dilakukan dengan menekan tombol yang menandai peresmian penggunaan jam tersebut. Hadir Direktur Utama Bank Dagang Negara, Presiden Direktur ”Enicar” Swiss, dan Dubes Kerajaan Belanda Scheltema. Nantinya ada tambahan 25 jam lagi sumbangan warga kota Amsterdam untuk dipasang di lokasi-lokasi strategis di Jakarta.
Dalam pidato sambutan saat peresmian, Gubernur meminta agar warga Ibu Kota dalam menunaikan tugasnya, terutama saat masuk kantor, jangan dibiasakan dengan jam karet. ”Kalau dulu beralasan tidak punya jam, sekarang alasan itu harusnya hilang dengan melihat jam di menara tersebut,” kata Bang Ali. Hal yang sama dikatakan Scheltema yang berharap agar warga Jakarta dapat menghargai waktu (Kompas, Senin, 23/6/1969, hlm 2).
Namun, belum ada setengah tahun warga bisa menikmati ketepatan waktu, jam-jam tersebut mulai ngaret. Beberapa jam yang terpasang di Jalan Thamrin, Pasar Baru, Grogol, Bandara Kemayoran, Lapangan Banteng, dan depan Balai Kota mulai tidak bertepatan satu sama lain. Bahkan, kadang-kadang selisihnya sampai 30 menit. Selisih waktu itu disebabkan voltase (tegangan) listrik yang tidak konsisten, naik-turun (Kompas, 29/11/1969).
Bahkan, jam di depan Gedung Kesenian Pasar Baru keterlambatannya sampai empat atau lima jam. Saat itu muncul kelakar, kalau ada penentuan waktu sebuah rapat penting, orang-orang lalu bertanya, ”Waktu mana? Waktu Thamrin, Grogol, Pasar Baru, atau Lapangan Banteng?” Dengan perawatan rutin, jam Enicar di tower clock perempatan Jalan MH Thamrin dan Kebon Sirih tetap berfungsi hingga saat ini. (JPE)