Pemberian penghargaan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada 62 profesor lintas negara, termasuk di antaranya 16 orang dari Indonesia, dimaknai sebagai apresiasi atas komitmen para guru besar dalam riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Seperti diberitakan Kompas (10 Juli 1970), Rektor ITB Doddy Tisna Amidjaja menyatakan bahwa penghargaan itu diberikan atas jasa para guru besar membina dan mengembangkan pendidikan tinggi teknik hingga akhirnya menjurus pada pembentukan ITB.
Kini, pendekatan yang digunakan untuk memberikan penghargaan kepada para guru besar berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Penilaian untuk penghargaan kepada guru besar tidak lagi berfokus pada perannya dalam struktur dan lembaga, tetapi pada produktivitas karya ilmiah. Penilaian itu diintegrasikan dengan kinerjanya sebagai dosen.
Tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor akan diberikan pemerintah dengan mengevaluasi kinerja dosen. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menristek dan Dikti Nomor 20 Tahun 2017 (Kompas, 6/2/2017). Guru besar diwajibkan memublikasikan minimal tiga karya ilmiah di jurnal internasional dalam kurun waktu tiga tahun.
Evaluasi per tiga tahun untuk pertama kalinya dimulai pada November 2017. Namun, profesor yang memenuhi ketentuan itu jumlah publikasinya masih minim. Mengacu pada data di Science and Technology Index (Sinta) atau Pusat Indeks Sitasi dan Kepakaran di Indonesia yang dibuat Kemristek dan Dikti 2017, terdata 4.299 profesor yang mendaftar dari total 5.366 profesor di Indonesia. Para profesor yang memenuhi syarat publikasi hanya 1.551 orang (Kompas, 10/1/2018).
Di balik angka-angka itu, kita bisa terhibur bahwa Indonesia masih unggul dalam jumlah publikasi daripada Thailand. Angka sampai akhir Desember 2017, publikasi Indonesia mencapai 16.471 karya ilmiah, sedangkan Thailand 14.200 karya ilmiah. Ternyata, jika dipacu, Indonesia yang punya dosen lebih banyak daripada negara ASEAN lain bisa produktif. (NAR)