Pada awal Orde Baru, tingkat kesejahteraan guru sangat memprihatinkan. Gaji rendah, fasilitas minim, dan pengangkatan status kepegawaiannya dipersulit. Padahal, saat itu pemerintah gencar membangun SD inpres di sejumlah daerah untuk meningkatkan layanan pendidikan. Banyak sekolah yang kekurangan guru.
Masyarakat enggan menjadi guru karena selain tingkat kesejahteraannya rendah, status kepegawaiannya pun sering dipersulit oleh birokrasi pemerintah. Tidak heran jika kemudian pada pertengahan tahun 1973 pemerintah membentuk tim khusus untuk memperbaiki nasib guru, termasuk menyelidiki aparat yang mempersulit status kepegawaian guru.
Tim yang dibentuk Menteri Penertiban Aparatur Negara JB Sumarlin itu menindak aparat birokrasi yang mempersulit pengangkatan guru. Selain memberikan sanksi administratif, banyak pula aparat birokrasi yang diberhentikan dengan tidak hormat.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan guru berhak mendapat tunjangan sertifikasi, banyak warga yang ingin menjadi guru. Apalagi jumlah tunjangannya lumayan besar, satu kali gaji pokok. Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP) di 28 perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi fakultas favorit calon mahasiswa.
Banyaknya calon mahasiswa yang tidak tertampung menjadi peluang tersendiri bagi bisnis pendidikan. Lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) swasta tumbuh subur di beberapa daerah.
Jika pada 2004 hanya terdapat 90 LPTK, termasuk 12 universitas eks IKIP dan 28 FKIP di PTN, pada tahun 2012 tercatat ada 374 LPTK. Jumlah ini bertambah lagi menjadi 421 LPTK pada tahun 2016. Namun, dari LPTK sebanyak itu, hanya 18 LPTK yang terakreditasi A dan 81 terakreditasi B.
Kini, setelah kesejahteraan guru mulai membaik, tantangannya adalah meningkatkan kualitas guru. Jangan sampai kesejahteraan guru membaik, tetapi kualitasnya jalan di tempat. (THY)