Tradisi kuno penyalaan api selama Olimpiade modern dihidupkan kembali sejak Olimpiade kedelapan di Amsterdam, Belanda, 1928. Dan, sejak perhelatan ke-10 di Berlin pada 1936, tradisi itu diperkokoh. Api berasal dari sinar matahari yang dinyalakan lewat suryakanta di Athena, Yunani.
Namun, hanya dalam Olimpiade Montreal 1976 api dibawa ke kota penyelenggara, melintasi Samudra Atlantik, tidak secara fisik. Api yang dinyalakan di Athena ”disalurkan” dengan merekam kode impulsnya, lalu data analog itu ditransmisikan melalui satelit ke Ibu Kota Kanada, Ottawa. Di kota penerima, sinyal itu diubah kembali menjadi sinar laser yang ditembakkan untuk menyalakan obor.
Pesta olahraga sejagat Olimpiade memang kerap menjadi etalase penguasaan teknologi negara penyelenggara. Di ajang itu, juga satu teknologi yang relatif baru, digunakan secara massal—dan global—untuk pertama kali.
Olimpiade Paris 1924, sebagai contoh, menjadi ajang akbar pertama yang menjadi obyek siaran radio. Ini terjadi empat tahun setelah stasiun radio komersial pertama didirikan di AS pada 1920.
Pada 1964, Olimpiade Tokyo menjadi etalase bangsa Jepang untuk memamerkan penguasaan teknologi mereka. Ini untuk pertama kali seluruh perhelatan bisa disaksikan secara langsung dengan televisi berwarna. Siaran juga dapat ditangkap langsung di berbagai penjuru dunia dengan bantuan teknologi satelit. Dua tahun sebelum itu, dunia baru memiliki satelit komunikasinya yang pertama, Telstar.
Pada pembukaan Olimpiade Los Angeles 1984 (Kompas, 29 Juli 1984), bangsa Amerika tak mau kalah pamer. Di ajang pembukaan mereka menampilkan manusia roket yang melayang melintasi lapangan upacara berkat mesin propulsi jet sebesar ransel di punggung ”pilotnya”.
Meski si manusia roket cuma terbang beberapa detik, itu cukup untuk menunjukkan pada dunia keunggulan Amerika Serikat dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan. (YNS)