Membaca harian Kompas edisi Jumat, 23 Juli 1971, lalu dikaitkan dengan isu Taiwan dewasa ini, dapat disimpulkan bahwa negara itu telah lama menjadi titik ketegangan antara China dan Amerika Serikat. Ketegangan 38 tahun lalu itu masih terjadi hingga sekarang. Taiwan masih menjadi kerikil tajam hubungan China-AS.
Wakil Perdana Menteri China Li Hsien Nien, dalam pidatonya, Rabu (21/6/1971), menggelorakan anti-imperialisme Amerika. Politik anti-imperialisme AS itu diletakkan Beijing dalam menghadapi masalah-masalah Indochina, Korea, dan Timur Tengah.
Dalam konteks perang melawan imperialisme itu pula Li menantang Washington dengan mengatakan, ”Rakyat China akan membebaskan Taiwan.” Menurut dia, rakyat China masih tetap setia pada ”internasionalisme proletar” (Kompas, 23/7/1971).
Terkait isu Taiwan, Beijing tidak mengakuinya sebagai negara, tetapi provinsi, bagian dari satu China. Berbeda dengan AS yang mengakui Taiwan sebagai negara otonom. Itu sebabnya AS-Taiwan terus memperkuat hubungan diplomatik dan bilateral mereka.
Buktinya, saat Taiwan terus mendapat tekanan militer dan diplomatik China, DPR AS menyetujui ”Taiwan Assurance Act of 2019”. Beijing menilai itu bentuk intervensi atas urusan internal China dan menyerukan agar AS ”menangani isu Taiwan secara pantas agar kerja sama China-AS tak memburuk” (Reuters, 8/7/2019).
Ketegangan terkait Taiwan kini menguat setelah Taipei ingin membeli peralatan tempur dari Pentagon. Niat itu disambut positif Washington dengan menyetujui penjualan senjata ke Taiwan senilai 2,2 miliar dollar AS, setara Rp 31,12 triliun (Kompas.id, 9/7/2019).
Sikap China tidak berubah atas Taiwan. Sejak para loyalis Partai Nasionalis lari ke Taiwan dan membentuk pemerintahan sendiri setelah kalah perang dari Partai Komunis (penguasa China daratan), Desember 1949, Taiwan dicap ”provinsi pembangkang” dan harus dibebaskan. Hubungan AS-China kini dalam masa kritis di tengah berlangsungnya perang dagang. (CAL)