Perkumpulan Keluarga Berencana sudah ada di Indonesia sejak 1957. Namun, keterlibatan pemerintah secara serius dan berskala nasional dalam program Keluarga Berencana boleh jadi bermula dari pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1967. Dalam pidato yang berlangsung sekitar 3,5 jam di depan Sidang DPR Gotong Royong itu, Soeharto menekankan pentingnya upaya pembatasan kelahiran, tetapi upaya tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma agama.
Persoalan kependudukan mendapat perhatian serius pemerintah Orde Baru saat itu karena jumlah penduduk Indonesia sangat tinggi, yakni sekitar 105 juta pada tahun 1967. Adapun laju pertumbuhan penduduk saat itu sekitar 2,6 persen. Tak heran jika jumlah penduduk melonjak drastis dibandingkan 1960 yang tercatat 87,8 juta jiwa.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi tentu berkonsekuensi pada kebutuhan lahan untuk permukiman, kebutuhan pangan, ketersediaan layanan pendidikan, layanan kesehatan, air bersih, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Tak heran jika pemerintah saat itu serius mengendalikan jumlah penduduk antara lain dengan membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) pada 1968, kemudian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 1970. Bahkan, pada 1972, organisasi BKKBN diperkuat dengan menjadi lembaga pemerintah nondepartemen yang berada langsung di bawah presiden.
Terlepas dari sebagian praktik di lapangan yang menimbulkan pro dan kontra, program Keluarga Berencana di masa Orde Baru dinilai berhasil mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dan menjadi gerakan nasional yang sangat populer Pada masa Reformasi, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, peran BKKBN tidak sekuat dulu karena antara lain tidak lagi menjadi ”badan koordinasi”, tetapi ”badan kependudukan”. Meski demikian, upaya pengendalian jumlah penduduk, termasuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera, harus menjadi kesadaran bersama. (THY)