Muhammad Ali bukanlah satu-satunya tokoh yang memerankan diri sendiri dalam film biografis. Namun, bisa jadi, dia satu-satunya yang memerankan film seperti itu tatkala kariernya belum paripurna. Pada 1970, saat United Artists menggarap film tersebut, Ali masih di puncak karier yang masih panjang, dia masih muda, baru 28 tahun (lahir 17 Januari 1942).
Namun, Ali memang menjanjikan sensasi di ring tinju. Hal itu, bahkan, dia sampaikan saat berusia 18 tahun, masih dengan nama Cassius Marcellus Clay Jr, menjelang aksinya di tinju amatir Olimpiade Roma 1960.
Gerak kaki ringan, liukan badan dan kepala berirama menghindari pukulan, dan lesatan jab bertubi ke wajah lawan, Ali meraih emas kelas berat ringan dengan menundukkan Zbigniew Pietrzykowski (Polandia). Bukan medali yang memesona, tetapi bukti bahwa tinju adalah seindah sastra. ”Melayang laksana rama-rama, menyengat laksana madukara,” janjinya menjelang laga.
Puisi Ali hadir di atas ring dan prosa Ali tampil di luar ring. Pada 1966, dia tegas menolak wajib militer untuk berperang ke Vietnam. Asosiasi tinju AS pun mencopot gelar juara dunianya yang sudah berumur dua tahun. Pengadilan AS juga menghukum Ali lima tahun penjara atas pembangkangan itu (Kompas, 22 Juni 1967).
Ali yang tutur katanya selalu terangkai memesona—dalam rayuan ataupun hardikan—melawan. Dia naik banding dan delapan hakim agung membatalkan vonis pengadilan pertama itu dengan suara bulat.
”Prosa” di peradilan inilah yang memicu industri film mengangkat kisahnya. Hanya, cerita Ali tak berhenti. Hingga 1979, Ali tercatat tiga kali merebut gelar juara dunia dan dua kali kehilangan gelar itu (karena dicabut pada 1967 dan kalah dari Leon Spinks pada 1978).
Dia pensiun pada 1979, tetapi berpikir untuk balik meraih gelar itu pada 1980. Hanya, Ali sudah terlalu tua (39). Larry Holmes terlalu kuat baginya. ”Setelah ronde pertama, saya tahu punya masalah. Saya lelah. Tak ada yang tersisa,” kata Ali yang pada 2016 wafat setelah menderita parkinson selama 32 tahun. (YNS)