Enam tahun dibangun sejak 1963, akhirnya Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali diresmikan Presiden Soeharto pada Jumat, 1 Agustus 1969. Bandara ini merupakan pengembangan dari Lapangan Udara Tuban yang ada di Bali sejak 1930.
Dibutuhkan biaya sekitar 13,1 juta dollar AS untuk pembangunan bandara internasional ini dengan panjang landasan 2.700 meter dan lebar 45 meter. Dengan daya dukung landasan sekitar 145 ton, bandara ini bisa didarati pesawat besar pada zaman itu, seperti Electra, Convair, DC-8, DC-9, Caravelle, dan pesawat besar lainnya.
Adanya bandara ini juga memungkinkan wisatawan asing bisa langsung ke Bali tanpa harus singgah di Jakarta lebih dulu. Dengan demikian, waktu tempuh menuju Bali bisa lebih cepat dan biaya juga bisa lebih murah. Saat itu ada lima maskapai internasional yang menuju Bali, yakni Thai International, Philippine Airlines, Malaysia Singapore Airlines, Quantas, dan Qathay.
Untuk acara peresmian, Presiden Soeharto datang ke Bali menggunakan pesawat jet-star Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), sedangkan rombongan duta besar dan Menteri Perhubungan mencarter tiga pesawat, yakni dua pesawat Concair 990 A Garuda serta sebuah pesawat Electra. Saat tiba di Bali, Presiden disambut 200 gadis penari pendet, dan sore harinya Presiden menyaksikan pementasan tari kecak.
Kini, Bandara Internasional Ngurah Rai sudah jauh berubah. Menjelang KTT APEC 2013, misalnya, terminal internasional ini dibenahi sehingga memiliki luas 120.000 meter persegi dan mampu menampung 16 juta penumpang per tahun. Terminal domestik juga kemudian dibenahi sehingga luasnya menjadi 68.000 meter persegi sehingga bisa menampung 9 juta penumpang per tahun.
Kini, perluasan juga dilakukan dengan reklamasi secara bertahap hingga sekitar 70 hektar serta menambah panjang landasan menjadi 3.400 meter. Harapannya, Bandara Ngurah Rai bisa menampung sekitar 37 juta penumpang pada 2022-2023. (THY)