Keinginan rakyat Banten untuk membentuk provinsi sendiri sudah ada sejak lama. Minggu, 8 Agustus 1965, misalnya, sekitar 50.000 warga Banten membanjiri Alun-alun Kota Serang dalam suatu rapat raksasa. Rapat itu juga dihadiri pimpinan 9 partai politik dan 60 organisasi massa.
Sebelumnya pada 31 Juli 1965 telah diselenggarakan Musyawarah Besar Rakyat Banten yang keputusannya meminta agar Banten dibentuk daerah tingkat I atau setara provinsi, yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan rakyat Banten untuk menjadi provinsi tersendiri tidak terlepas dari keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melihat sejarahnya, Kerajaan Banten pernah mengalami masa keemasan saat dipimpin Sultan Syarif Hidayatullah tahun 1525 sampai dengan Sultan Muhammad Rafi’uddin pada 1813. Saat itu rakyat Banten hidup makmur, cukup sandang dan pangan.
Sisa keemasan Kerajaan Banten bisa disaksikan hingga kini. Bekas Istana Surosowan, tempat raja-raja Banten bertakhta, masih ada di Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, di lahan seluas sekitar 4 hektar. Di sekelilingnya berdiri kokoh benteng bata.
Masih bisa disaksikan pula Pelabuhan Karangantu yang pada zamannya merupakan pelabuhan ekspor untuk berbagai komoditas, terutama lada. Toleransi beragama bisa disaksikan dengan kokohnya bangunan Masjid Agung Banten yang lokasinya tak jauh dari Wihara Avalokitesvara.
Setelah melalui perjalanan panjang, keinginan untuk membentuk Provinsi Banten akhirnya terwujud dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 pada Rabu, 4 Oktober 2000. Provinsi Banten terdiri dari empat kota dan empat kabupaten. Jumlah penduduknya sekitar 12,5 juta jiwa di areal seluas 9.160,7 kilometer persegi.
Setelah 19 tahun berdiri, kini semua pihak perlu mengingatkan kembali bahwa berdirinya Provinsi Banten bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Banten. (THY)