Isu Sabah telah menjadi batu sandungan dalam hubungan Malaysia-Filipina selama bertahun-tahun. Insiden terbesar terjadi pada 2013 ketika para loyalis Sultan Jamalul Kiram III dari Sulu, Filipina, memasuki Lahad Datu, Sabah, untuk mempertegas klaim Filipina.
Serangan oleh 100-400 pejuang Filipina selatan, yang mengklaim sebagai ahli waris Kesultanan Sulu itu, terjadi pada 11 Februari 2013 (Inquirer, 16/2/2013). Invasi Pasukan Keamanan Kesultanan Sulu itu untuk menegaskan klaim teritorial mereka yang belum terselesaikan di timur Sabah atau eks Borneo Utara (The Star, 24/2/2013).
Krisis Sabah saat itu berlangsung sebulan. Setidaknya 27 orang tewas setelah jet-jet Malaysia menyerang mereka. Pada Januari 2018, sembilan di antara ratusan pejuang Sulu itu dihukum mati (Reuters, 15/1/2018).
Peristiwa 2013 itu merupakan puncak klaim Filipina atas Sabah yang muncul sejak empat atau lima dekade sebelumnya. Halaman pertama Kompas edisi 26 Agustus 1967 melaporkan, klaim Filipina atas Sabah akan dibahas segera secara damai oleh Kuala Lumpur dan Manila.
Laporan itu merujuk penjelasan Menteri Urusan Tanah dan Pertambangan Malaysia Abdul Rahman saat berbicara di parlemen di Kuala Lumpur, Kamis (24/8/1967). Ia menjamin, klaim Filipina atas Sabah tak akan merusak perdamaian di Asia Tenggara karena akan dibicarakan secara damai. Ia menjawab pertanyaan Abu Bakar dari Partai Islam se-Malaysia, yang bertanya apakah Malaysia akan menyerahkan Sabah kepada Filipina.
”Tetapi rakjat Sabah sudah mengambil keputusan untuk tetap hidup didalam lingkungan Malaysia. Keputusan mereka itu disaksikan oleh wakil2 dari Perserikatan Bangsa2,” kata Abdul mewakili PM Tengku Abdul Rachman, seperti dilaporkan Kompas (26/8/1967).
Itulah sebabnya, ASEAN ketika merespons serangan di Sabah pada 2013 menyatakan keprihatinannya dan mendorong Filipina agar menghormati kedaulatan Malaysia. Hingga kini pun Filipina tidak bisa membuktikan klaimnya atas Sabah karena memang tak ada landasan prinsipiil yang bisa dibenarkan hukum internasional. (CAL)