Berdasarkan sensus becak pada akhir 1969, terdaftar 69.027 becak. Tersebar di Jakarta Pusat 29.826 becak, Jakarta Utara 6.400 becak, Jakarta Barat 13.595 becak, Jakarta Selatan 10.436 becak, dan Jakarta Timur 8.770 becak.
Komunitas penggenjot becak terus berkembang di antara arus lalu lintas Jakarta yang makin ramai. Aturan lalu lintas hanya berlaku bagi kendaraan bermotor roda dua dan roda empat. Kendaraan roda tiga, seperti becak, belum ada aturannya. Karena itu, berhenti sembarangan dan melawan arah bagi pengayuh becak sudah biasa.
Menyadari bahwa becak dibutuhkan warga, pemerintah DKI Jakarta berusaha menatanya dengan beragam cara, seperti warnaisasi dan rayonisasi wilayah operasi diberlakukan. Misalnya saja, becak warna abu-abu untuk di Jakarta Pusat, merah untuk Jakarta Barat, biru untuk Jakarta Utara, kuning untuk Jakarta Selatan, dan becak berwarna hijau wilayah operasinya di Jakarta Timur.
Kebijakan ini disertai larangan pembuatan becak baru, penerapan surat izin mengemudi bagi pengayuh becak, dan penerapan kawasan bebas dari becak agar wilayah operasional becak bisa terkontrol.
Pekerjaan penarik becak juga menimbulkan solidaritas perasaan senasib. Peristiwa Kwini pada Maret 1970, misalnya, meledak akibat penganiayaan seorang pengayuh becak oleh beberapa pemuda di Jalan Kwini, Senen, Jakarta. Aksi serangan balik dari ratusan pengayuh becak terjadi di kawasan Kwini hingga aparat keamanan dari Komwil 71 Kramat harus turun mendamaikan.
Becak pun punya reputasi internasional. Di negeri Belanda, lagu ”Maakteen ritje met z’n beiden in een betjak” pernah populer. Ketika kapal induk Perancis, Jeanne D’Arc, singgah di Tanjung Priok, beberapa anak buah kapal langsung mencari dan mencoba naik becak (Kompas, 24/1/1970).
Bahkan, di Yogyakarta, becak-becak dimobilisasi menjadi kendaraan turis. Keberadaannya yang kerap dianggap tidak manusiawi di sisi lain menjadi identitas keramahan sebuah kota kepada warganya. (JPE)