Penolakan terhadap Taiwan itu merupakan bentuk sikap politik Pemerintah Yugoslavia terhadap Taiwan. Seperti banyak negara sosialis saat itu, Yugoslavia memiliki kebijakan politik terhadap satu China yang tegas. Mengakomodasi kehadiran atlet Taiwan dalam sebuah kejuaraan dunia agaknya dapat dilihat sebagai sikap menyediakan panggung bagi Taiwan.
Taiwan—menyebut diri sebagai Republik China—sudah lebih dari 20 tahun, saat itu, mengejar pengakuan global sebagai negara yang mandiri. Semua berakar dari perang saudara antara kelompok komunis dan nasionalis China pasca-Perang Dunia II.
Hasilnya, nasionalis kalah dan mengungsi ke Pulau Formosa, mendirikan pemerintahan di sana. Pihak komunis yang mendeklarasikan RRC berkeras menganggap Taiwan adalah sebuah provinsi pemberontak.
Sikap Pemerintah Yugoslavia itu mendapat reaksi keras dari FINA. Ketua FINA Harold Henning mengatakan, setiap anggotanya tidak boleh dijatuhkan tindakan diskriminasi karena alasan politik tertentu.
Olahraga modern—gerakan Olimpiade—memang dibentuk dengan cita-cita mahardika: merayakan kemanusiaan. Lewat olahraga, semua bangsa, dan setiap orang, dimuliakan dan disatukan, melampaui batas-batas negara, kebijakan politik, prasangka sosial, dan ketimpangan ekonomi.
Kenyataannya, melepaskan olahraga dari politik negara adalah utopia. Pergulatan antara komunitas olahraga dan otoritas politik tak pernah berakhir, meski jika terjadi, pihak pertama hampir selalu kalah.
Pada 1980, misalnya, Pemerintah Amerika Serikat dan 65 negara lainnya memboikot Olimpiade Moskwa sebagai protes atas invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Empat tahun kemudian, giliran Uni Soviet dan negara-negara komunis yang memboikot penyelenggaraan Olimpiade Los Angeles 1984.
Apa pun alasannya, intervensi politik itu membuat para atlet, para wakil bangsa, gagal berkumpul untuk merayakan kemanusiaan, merajut persaudaraan. (YNS)