Ketika Inggris mulai melakukan proses dekolonisasi pada awal era 1960-an, sejumlah kesultanan di Semenanjung Malaya dan pantai utara Kalimantan sepakat menjadi satu negara. Para sultan juga sepakat membentuk negara Federasi Malaysia.
Itu sebabnya beredar berita di Kuala Lumpur bahwa Brunei seolah-olah ingin menjadi bagian negara Federasi Malaysia. Namun, kabar itu kemudian ditepis langsung oleh Kesultanan Brunei (Kompas, 2/9/1965).
Sejak semula, Brunei memang menolak bergabung, sebagaimana disampaikan Dato Seri Paduka Marsal, Menteri Utama Brunei saat itu. Membaca arsip berita Kompas tentang hal itu, ada dua alasan Brunei tidak mau menyatu dengan Malaysia, yakni ekonomi dan politik.
Brunei adalah negara kaya minyak dan gas bumi. Jika bergabung menjadi bagian negara Federasi Malaysia, hasil yang didapatkannya dari sumber minyak lebih kurang hanya 8 juta pound sterling per tahun. Padahal, Brunei bisa memetik lebih: 100 juta pound sterling.
Dari sisi politik pemerintahan, Brunei diperintah secara feodal oleh sultan yang memiliki kekuasaan mutlak. Berbeda dengan Federasi Malaysia, sebuah monarki konstitusional, dengan sistem pemerintahannya bermodelkan parlementer Westminster, Inggris.
Dengan dua alasan itu, Kesultanan Brunei merasa tidak memiliki alasan mendasar untuk bergabung dengan Malaysia. Brunei menarik kembali rencana penyatuan karena penentangan dari sebagian penduduknya, juga dalih pembayaran royalti minyak dan status sultan di dalam rencana penyatuan dengan Federasi Malaysia (Time, 20/9/1963).
Sejarah mencatat, Brunei menandatangani perjanjian kerja sama dan persahabatan dengan Inggris, 4 Januari 1979. Brunei pun telah berhasil mencapai kemerdekaan penuh dari Inggris Raya pada 1 Januari 1984.
Brunei kini memiliki indeks pembangunan manusia tertinggi kedua di ASEAN setelah Singapura. Disebabkan corak pemerintahan monarki mutlak sultan, Brunei pun bertumbuh menjadi salah satu negara Asia paling stabil dari segi politik dan termasuk negara maju. (CAL)