Kita mengenalnya dengan Rudy Hartono. Salah satu putra terbaik negeri—Indonesian best—lewat kiprahnya di lapangan bulu tangkis dunia.
Hingga kini, hanya arek Suroboyo itu satu-satunya pebulu tangkis dunia yang bisa delapan kali juara All England. Dia enam kali memperkuat tim Piala Thomas. Empat di antaranya, Indonesia keluar sebagai juara. Hingga 2002, Indonesia sudah 13 kali memenangi kejuaraan beregu putra dunia tersebut.
Pada 1970, Rudy baru setahun dari menamatkan SMA. Baru 21 tahun. Di tahun itu, dia meraih gelar All England-nya yang ketiga. Untuk pertama kali pula dia sukses memimpin skuad Merah Putih merebut kembali Piala Thomas dari genggaman Malaysia.
Di tahun itu pula sesungguhnya Rudy muda berada di persimpangan jalan masa depan. Awal 1970, Rudy memperoleh kado istimewa. Dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya (Kompas, 2 Januari 1970). Ujar Pembantu Rektor Unair saat itu, Prof Kwari, hasil tes masuk Rudy memuaskan.
Rudy perlu beberapa bulan untuk memikirkan pilihannya: stetoskop atau raket. Dia memilih yang kedua. ”Fakultas kedokteran menuntut waktu yang ketat. Padahal, karier di bulu tangkis membutuhkan waktu dan energi yang full time,” ujar Rudy (10 Juli 1970).
Di Juli itu pula kembali datang pilihan hidup yang menggiurkan. Garuda Indonesia Airways menawarkan anggota tim Piala Thomas menjadi penerbang. Rudy dan rekannya setim, Darmadi, lulus tes masuk.
Maka, September itu, Kompas pun menemui Rudy dan Darmadi yang tengah menjalani rangkaian pendidikan penerbang Garuda di Pusdikpom Cimahi, Bandung.
Seperti sebelumnya, Rudy akhirnya tetap memilih raket. Tahun 1971, sepulang para pebulu tangkis dari All England dan dijamu janda pahlawan, Ibu Achmad Yani, Rudy hadir sebagai juara. Hadir pula, pilot Darmadi. Kini, kita mengenal Rudy bukan sebagai dokter, bukan pula penerbang. Kita mengenalnya sebagai legenda hidup bulu tangkis dunia. (YNS)