Peristiwa G30S/PKI tahun 1965 berbuntut panjang pada hubungan Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC). Hubungan dua negara, yang asalnya akrab, memanas dan semakin tegang. Sebagian pejabat Indonesia menuding RRC menyokong aksi tersebut. Sebaliknya, Pemerintah China menuding Indonesia melakukan penganiayaan terhadap warga RRC tak bersalah yang berada di Jakarta. Rumah warga RRC pun dirusak dan diobrak-abrik (Kompas, 22 Oktober 1965).
Bantahan Pemerintah Indonesia tak mempan. Bahkan, situasi semakin memanas. Demonstrasi disertai perusakan Kedutaan Besar RRC terjadi di Jakarta. Buntutnya Pemerintah RRC pada April 1966 meminta agar Pemerintah Indonesia menjamin keselamatan warga RRC dan melindungi pejabat RRC di Indonesia serta menyediakan kapal-kapal untuk memulangkan mereka ke China (Kompas, 14 April 1966).
Situasi semakin panas ketika Duta Besar RI untuk RRC Djawoto mengundurkan diri pada 17 April 1966 sebagai bentuk protes kepada Pemerintah Indonesia. Djawoto selanjutnya untuk sementara akan tinggal di RRC.
Seiring dengan panasnya hubungan kedua negara, penerbangan Jakarta-Kanton (RRC) oleh pesawat-pesawat Indonesia juga dihentikan. Hubungan dagang RI-RRC diputuskan. Begitu pula pertukaran pelajar antarkedua negara dibekukan.
Situasi semakin panas ketika Menteri Luar Negeri Adam Malik, September 1967, mengatakan, gedung Kedubes Indonesia di Peking dihancurkan oleh massa. Tempat tidur, mesin tik, dan transmiter Kedutaan Besar RI juga dirusak. Delapan diplomat RI yang ada di sana bertahan hidup di gudang dalam kondisi merana dan kelaparan serta tidak bisa meninggalkan RRC.
Situasi mencapai puncaknya ketika hubungan RI-RRC dibekukan pada Oktober 1967. Kebijakan ini diikuti dengan penutupan Kedutaan Besar RI di Peking, seperti diberitakan Kompas, 26 Oktober 1967. Hubungan Indonesia-RRC baru pulih lebih dari dua dekade kemudian, yakni pertengahan 1990. (THY)