Enam bulan telah berlalu, tetapi masih segar dalam ingatan kita banjir bandang yang menerjang sejumlah wilayah di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Lebih dari 100 orang tewas dan ratusan rumah rusak. Sejumlah perkampungan terendam hingga ketinggian 50 sentimeter akibat luapan Danau Sentani (Kompas, 18/3/2019).
Air deras yang mengalir dari arah Pegunungan Cycloop, Minggu, 17 Maret 2019, dini hari, dipicu penggundulan hutan dan alih fungsi lahan Cagar Alam Cycloop menjadi permukiman dan perkebunan.
Terdeteksi 29 titik kerusakan lahan di Cycloop. Penebangan kayu besi terjadi secara liar untuk dijadikan arang untuk dijual ke restoran dan warung-warung di Kota Jayapura. Permukiman warga pun berkembang di daerah resapan air dan bantaran sungai.
Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menegaskan, setiap orang dilarang berkegiatan yang bisa mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan suaka alam. Cagar alam termasuk dalam suaka alam, menurut undang-undang tersebut.
Perlunya kebijakan dan cara-cara pengelolaan sumber daya alam yang tepat telah diingatkan oleh Presiden Soeharto ketika membuka Rapat Dinas Instansi-instansi Kehutanan Seluruh Indonesia di Bina Graha, Jakarta, Senin, 18 September 1972 (Kompas, 19/9/1972).
Menurut Soeharto, hal itu dibutuhkan agar sumber daya alam tak dirusak oleh manusia. Sebab, sekali dirusak, pengetahuan dan kemampuan yang ada pada manusia tidak akan dapat memulihkannya seperti semula.
Larangan mengusik cagar alam telah diatur dalam UU No 5/1999 tentang Kehutanan dan UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Bahkan, pemerintahan Orde Baru pun menyadari bahwa penebangan hutan secara liar pada masa lalu merupakan ”pengalaman yang pahit” bagi Indonesia. Sebab, di samping sebagai sumber kekuatan ekonomi, hutan berfungsi sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, dan pemelihara kesuburan tanah. (LAM)