Thailand selatan bisa diibaratkan api dalam sekam. Layaknya orang-orang melihat sekam selalu mengira tak ada api di sana. Namun, sering kali orang-orang di sekitarnya terperangah ketika nyala api tiba-tiba menghanguskan semua benda di sekitarnya.
Setidaknya begitulah yang terjadi ketika keluarga Raja Thailand berkunjung ke Yala, Thailand selatan, September 1977, seperti diberitakan Kompas (Sabtu, 24/9/1977). Mengira aman, entah karena aparat intelijennya lemah, ternyata kunjungan keluarga raja justru disambut ledakan bom yang nyaris mengenai mereka.
Sebenarnya Raja Bhumibol Adulyadej, Ratu Sirikit, dan dua putri mereka, yakni Maha Chakri Sirindhorn dan Chulabhorn Walailak, sedang berada di Tambon Sateng, 22 September 1977, ketika ledakan itu mengincar mereka. Mereka selamat, tetapi 44 orang terluka.
Hal yang perlu dicermati, para pejabat Thailand justru meremehkan ledakan bom tersebut. Mereka sama sekali tidak menganggap penting jika ledakan itu disebut sebagai upaya membunuh keluarga raja. Dilaporkan kemudian, lima orang tewas akibat dua bom rakitan itu.
Militer, meski sempat meremehkan ledakan tersebut, pada akhirnya mereka meningkatkan keamanan Thailand selatan. Jika Raja, simbol tertinggi negara, hampir saja terkena bom, bagaimana pula keamanan rakyatnya?
Gejolak di Thailand selatan, yang meliputi empat provinsi berbahasa Melayu, muncul pertama kali pada 1948. Hingga kini, wilayah itu masih bergolak. Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dinilai belum berhasil meredam gejolak di selatan. Separatis Thailand selatan terus mengerahkan bom mobil dan membunuh tentara.
Militan juga telah menyerang pasar, seminggu sebelum Prayuth dilantik pada 5 Juni 2014, sebagai perdana menteri. Pola ini berulang dan menunjukkan, perdamaian merupakan upaya yang terbukti sulit bagi Prayuth, orang kuat Thailand itu. Sejak keluarga Bhumibol terancam bom, militer terus meningkatkan patroli keamanan. Pendekatan yang militeristik sering memperkeruh keadaan. (AFP/REUTERS/CAL)