Siaran televisi yang mengudara pertama di Indonesia pada 24 Agustus 1962 membuat penasaran masyarakat. Namun, untuk menikmatinya saat itu tidak mudah karena televisi masih menjadi barang langka dan harganya cukup mahal. Siarannya pun masih terbatas.
Tahun 1965, misalnya, TVRI baru membangun proyek menara televisi di perbukitan Gantung, Gombel, dan Cemorosewu untuk meluaskan siaran di sekitar Jawa Tengah. Bersamaan dengan itu, dipasang pula televisi di sejumlah tempat umum, seperti stasiun, terminal, dan kantor kecamatan.
Untuk kepemilikan perseorangan, selain pajak, pemilik televisi juga dikenai iuran bulanan. Tahun 1969, misalnya, iuran televisi Rp 200 per bulan dan biaya pendaftaran sekali saja Rp 300, yang semuanya dibayarkan di Kantor Pos. Untuk mendaftarkan televisi, pemilik harus menunjukkan kuitansi pembelian.
Sampai 1971, baru terdaftar 11.000 televisi di Tanah Air. Padahal, jumlah televisi yang ditonton masyarakat sekitar 150.000 unit. Masih banyak warga yang enggan membayar iuran bulanan. Karena itu, razia kepemilikan televisi saat itu sering dilakukan dari rumah ke rumah. Pemilik televisi yang tidak membayar atau terlambat membayar iuran televisi dikenai denda.
Razia yang dilakukan pada 2 Juli hingga 27 September 1973 di Jakarta, misalnya, menemukan ada 4.308 pesawat televisi yang belum didaftarkan kepemilikannya. Dari hasil razia tersebut, Daerah Pos I Jakarta menerima denda dan iuran sebesar Rp 9.915.200.
Mulai 1 Januari 1974, iuran televisi naik menjadi Rp 500 per bulan untuk pesawat televisi ukuran 16 inci ke bawah dan Rp 750 per bulan untuk pesawat televisi ukuran di atas 16 inci.
Kini televisi bukan lagi barang mewah. Siaran televisi bahkan bisa dilihat melalui layar smartphone. Televisi berada dalam genggaman. Iuran televisi pun sudah tidak ada lagi. (THY)