Muhammad Ali punya kekuatan prima, keberanian luar biasa, dan keterampilan istimewa. Ali adalah manusia super, sosok argonaut, pahlawan dalam legenda Yunani kuno, yang mewujud di alam modern.
Petinju Ali ”mekar” di ring tinju dunia tatkala dia masih berumur 18 tahun. Dalam Olimpiade 1960 di Roma, Ali yang saat itu belum mengganti nama lamanya, Cassius Marcellus Clay Jr, meraih medali emas kelas berat ringan. Di final tiga babak, dia menaklukkan atlet Polandia, Zbigniew Pietrzykowski.
Lalu dalam 20 tahun karier tinju profesionalnya sebelum menantang Holmes, Ali telah mengukir segalanya dengan pahat emas di atas bongkah perak. Dia 56 kali menang dari 59 pertarungan, 37 di antaranya dengan KO. Ali menjadi yang terbesar karena melumpuhkan semua petinju terbaik di zamannya: Sonny Liston, Floyd Petterson, Joe Frazier, Ken Norton, dan George Foreman.
Ali juga satu-satunya petinju yang dua kali kehilangan gelar lalu tiga kali merebut gelar juara dunia kelas berat. Pada Februari 1964, Ali jadi juara dunia dengan memukul Sonny ”Si Beruang” Liston dengan KO. Pada 1967, gelarnya dilucuti karena Ali menolak wajib militer ke perang Vietnam. Pada 1974, dia kembali merebut mahkota dengan kemenangan KO atas George Foreman yang dikenal sebagai raja KO. Pada 1978, dia kehilangan takhta di kepalan Leon Spinks. Namun, di tahun itu pula dia merebutnya kembali lewat kemenangan angka dari Spinks.
Dengan penghasilan sekitar 60 juta dollar AS dari seluruh pertarungan yang dia jalani, Ali adalah salah satu olahragawan paling bergelimang uang. Namun, Ali yang pada 1979 memutuskan pensiun—terutama karena menyadari tangannya sering gemetar sendiri dan suaranya kerap tergagap—ingin lebih dari yang dia dapatkan. Di usia 38, dia ingin melawan kodrat.
Dia menantang Holmes, bekas muridnya yang dahulu dia bayar 125 dollar AS per pekan sebagai sparing partner. Nasib Ali pun mirip Herakles, Achilles, atau Theseus. Mereka semua adalah manusia digdaya. Namun, manusia adalah fana dan ada akhir bagi kejayaan mereka.