Penertiban terhadap lembaga pendidikan tinggi yang asal-asalan sudah lama dilakukan pemerintah. Harian Kompas edisi 12 Oktober 1974, misalnya, memberitakan, 60 sekolah tinggi dan juga akademi swasta di Jawa Tengah bakal ditertibkan karena tidak mengembalikan daftar isian standardisasi yang dibagikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Di Jawa Tengah terdapat 131 lembaga pendidikan tinggi, termasuk sekolah tinggi dan akademi swasta. Namun, yang mengembalikan kuesioner hanya 71 lembaga. Artinya, ada 60 lembaga yang terancam ditertibkan. Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti) setempat menduga lembaga pendidikan itu sudah tidak beroperasi lagi atau hanya tinggal papan nama.
Fenomena di Jawa Tengah sebetulnya jamak terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air. Dalam pemberitaan Kompas, 5 Juni 1974, Koordinator Perguruan Tinggi Wilayah II (meliputi DKI Jakarta, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Kalimantan Barat) melarang beberapa perguruan tinggi swasta menerima mahasiswa baru tahun kuliah 1974. Kegiatan akademik dan administratif lembaga-lembaga tersebut juga dibekukan.
Hingga empat dekade kemudian, langkah penertiban terus dilakukan. Kali ini dilakukan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Seperti diberitakan Kompas, 1 Juli 2016, sebanyak 101 perguruan tinggi swasta (PTS) yang sempat masuk dalam daftar pembinaan/nonaktif bersama 243 perguruan tinggi lainnya akhirnya diputuskan untuk ditutup.
Menristek dan Dikti Muhammad Nasir mengatakan, tindakan tegas ini dilakukan untuk menjaga mutu perguruan tinggi. Terkait nasib mahasiswa di PTS yang ditutup, Kemristek dan Dikti meminta agar yayasan mengalihkan mereka ke PTS terdekat.
Penguatan perguruan tinggi swasta yang jumlahnya lebih dari 4.000 institusi di Indonesia sangat diperlukan guna mengatasi kesenjangan mutu yang terjadi di dalam pendidikan tinggi di Indonesia. (NAR)