Beras di Indonesia tidak semata-mata urusan pangan masyarakat. Beras juga menentukan pasang surut kekuasaan politik. Itu sebabnya, sejak dahulu, jauh hari sebelum kemerdekaan, pasokan dan harga beras selalu terjaga.
Oleh
JANNES EUDES WAWA
·2 menit baca
Beras di Indonesia tidak semata-mata urusan pangan masyarakat. Beras juga menentukan pasang surut kekuasaan politik. Itu sebabnya, sejak dahulu kala, jauh hari sebelum kemerdekaan, pasokan dan harga beras selalu terjaga. Jangan sampai masyarakat menderita karena krisis beras. Jika itu terjadi, kekuasaan politik pun bisa runtuh.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, stabilitas harga dan pasokan beras benar-benar dikontrol karena disadari urusan perut dan kekuasaan politik selalu memiliki keterkaitan yang erat. Maka, seperti diberitakan harian Kompas, 31 Oktober 1972, demi menjaga stabilitas harga di dalam negeri, Badan Urusan Logistik (Bulog) pun membeli beras dari pasaran bebas di luar negeri.
Sensitivitas perberasan di Indonesia seperti tertuang dalam buku Babad Tanah Jawi. Pada masa silam, para penguasa Mataram selalu berusaha mengontrol pasokan dan harga beras untuk menjaga stabilitas politik. Ki Ageng Pemanahan berhasil mendirikan kerajaan berkat kepiawaiannya mengolah tanah dari hutan menjadi lahan pertanian. Raja Amangkurat I terguling karena munculnya krisis pangan. Adapun Amangkurat II mengalami krisis politik juga dipicu masalah beras.
Sultan Agung berhasil menghadirkan stabilitas politik di Mataram karena mampu menjaga pasokan beras. Sebaliknya, kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia juga disebabkan habisnya pasokan beras. Belanda membakar stok logistik, mengakibatkan prajurit Mataram kelaparan.
Para pembuat kebijakan wajib menjauhkan diri dari niat untuk mengimpor beras. Bangunlah kemandirian petani.
Setelah reformasi, persoalan perberasan tidak bergeser. Selama Januari-September 2019, volume produksi beras nasional sekitar 26,91 juta ton, sedangkan konsumsi 22,28 juta ton. Artinya, ada surplus 4,64 juta ton. Lebih dari menunjukkan negeri ini sanggup swasembada beras.
Jadi, mulai sekarang, para pembuat kebijakan wajib menjauhkan diri dari niat untuk mengimpor beras. Bangunlah kemandirian petani. Kesejahteraan petani dan peningkatan harkat serta martabat melalui melipatgandakan ekspor pangan. Kesejahteraan dan kemajuan masyarakat benar-benar menjadi nyata apabila urusan perut sudah tuntas tertangani.