Bagian statistik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat itu lebih lanjut mengungkapkan, selama 1949-1971, kampus perguruan tinggi tertua sejak Indonesia merdeka tersebut memiliki 46.417 mahasiswa. Dari jumlah itu, hingga akhir 1971, hanya dapat diperoleh 17.181 sarjana. Adapun dalam kurun 1968-1971, sebanyak 10.536 mahasiswa tercatat putus kuliah, drop out. Jumlah tertinggi terjadi pada 1970, yaitu 2.876 mahasiswa yang meninggalkan bangku kuliah.
Rekor ”kegagalan” tertinggi era 1949-1971 terdapat di Fakultas Sastra dengan 86,15 persen mahasiswa tidak pernah sempat mendapatkan gelar sarjana. Fakultas Kedokteran Hewan menyusul dengan 77,40 persen, lalu Fakultas Ilmu Pasti Alam 76,43 persen, Fakultas Biologi 71,30 persen, dan Fakultas Kedokteran 64,05 persen. Dari 18 fakultas, kegagalan studi paling kecil dimiliki Fakultas Kedokteran Gigi, hanya 17,91 persen yang drop out.
Dalam kurun 1968-1971, sebanyak 10.536 mahasiswa tercatat putus kuliah, drop out.
Selain itu, seratusan mahasiswa menyelesaikan studi setelah kuliah 15 tahun. Sebanyak 71 di antara mereka akhirnya bergelar dokter, 39 menyandang predikat SH, 20 insinyur, dan 12 orang menjadi sarjana sastra.
Tentu di kurun itu, stigma kampus yang penuh ”mahasiswa abadi” juga disandang berbagai kampus. Zaman berubah. Dunia kian kompetitif. Perguruan tinggi pun meluluskan banyak sarjana setiap tahun, termasuk mereka yang selesai studi di usia sangat muda dengan prestasi cemerlang.
Pada 2010, misalnya, UGM mewisuda 137 sarjana berpredikat cum laude dari 1.226 sarjana. Indeks prestasi kumulatif tertinggi 3,98 dengan sarjana termuda berumur 20 tahun 2 bulan 9 hari (Kompas Jogja, 20/2/2010).
Oktober tahun ini, jumlah sarjana cum laude nyaris separuh dari total wisudawan UGM (562 orang dari 1.128 lulusan). Rerata usia lulusan sarjana adalah 22 tahun 10 bulan dengan yang termuda berumur usia 18 tahun 8 bulan 1 hari (Kompas.com, 26/8/2019). (YNS)