Harian ini, 4 November 1972, menurunkan berita soal bantuan Rp 5 juta dari pemerintah Provinsi Antwerpen, Belgia, untuk pembangunan di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Bantuan itu untuk membangun irigasi dan pencegahan erosi di Mautenda, Ende.
Pada masa itu Flores belum dikenal; apalagi Mautenda, hanya desa terpencil yang jauh dari jalan poros utama pulau itu. Mautenda di pesisir utara Flores memiliki hamparan potensial untuk persawahan dengan luas 6.000 hektar lebih di tepi Sungai Loworea.
Saat itu, lahan yang ada tak lebih dari 1.000 hektar. Sementara Sungai Loworea selalu mendatangkan banjir di musim hujan sehingga selain melongsorkan badan sungai, juga merusak sawah dan saluran irigasi rakyat. Bantuan Belgia membuat warga bisa membangun tanggul dan memperbaiki saluran irigasi mereka.
Wilayah Mautenda kala itu menjadi wajah umum Flores, yang tak pernah seindah namanya sebagai pulau bunga.
Pemprov NTT mengakui, bantuan itu sudah berakhir lama. Namun, bantuan memicu lahirnya irigasi modern Mautenda dari bantuan pemerintah pusat dan pencetakan sawah skala besar pada era 1980-an, beberapa tahun setelah jalan lintas utara Flores dibuka pada 1978.
Wilayah Mautenda kala itu menjadi wajah umum Flores, yang tak pernah seindah namanya sebagai pulau bunga dan tidak secantik letaknya di tepi Samudra Pasifik. Sejak masa kolonial dan sampai akhir 1992, Flores lebih dikenal sebagai daerah terabaikan.
Flores mulai dikenal bukan oleh geliat pembangunan, tetapi akibat bencana gempa dan tsunami 12 Desember 1992. Gempa 7,8 pada skala Richter yang memicu tsunami itu menewaskan lebih dari 2.100 orang.
Kini Mautenda telah menjadi salah satu sentra beras utama NTT, selain Mbay di Nagekeo dan Lembor (Manggarai Barat). Semuanya di Flores, pulau yang kini mulai bergeliat berkat pariwisata. Sementara Mautenda kini menghasilkan beras berkualitas dengan merek ”Beras Mautenda”. Mautenda menjadi salah satu jejak sejarah hubungan Belgia-Indonesia.