Perfilman nasional senantiasa mengalami pasang surut. Ada masanya film nasional lebih diminati ketimbang film-film impor.
Pada akhir tahun 1972, misalnya, film nasional mendominasi bioskop-bioskop di Jakarta. Mengutip data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, film Bernafas dalam Lumpur tercatat dengan penjualan karcis sebanyak 198.000 lembar, lalu film Beranak Dalam Kubur dengan jumlah karcis terjual sebanyak 150.000 lembar. Sementara untuk film impor yang paling laris, Dragon Inn, hanya sekitar 125.000 karcis terjual di seluruh bioskop di Jakarta (Kompas, 6 November 1972).
Potensi pasar film nasional saat ini sebenarnya cukup besar karena jumlah penonton mengalami lonjakan dari 16 juta orang pada 2015 menjadi 42,7 juta orang pada 2018. Padahal, jumlah layar bioskop yang tersedia hanya sekitar 1.500, yang sebagian besar kerap dikuasai film-film Hollywood (Kompas, 17 Maret 2019).
Tentu saja, bukan hanya kemampuan menarik penonton yang perlu diutamakan. Soekarno M Noor, aktor ternama yang juga pernah menjabat sebagai ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), pernah mengingatkan bahwa film nasional harus memiliki identitas yang jelas agar mampu bersaing dengan film impor. Tanpa jati diri, menurut Soekarno, film nasional tidak mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Ia mencontohkan film-film India dan Jepang, yang memiliki ciri khas nasionalnya sehingga dengan mudah dikenali oleh penonton (Kompas, 28 Maret 1972). Belakangan ini datang serbuan film-film Korea Selatan yang juga menyisipkan kekhasan budayanya, beriringan dengan K-pop.
Pentingnya jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa dalam film nasional pernah dicantumkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1998-2003. Dalam butir GBHN sebelumnya, penekanannya pada masalah pemasaran. Tahun 2005, menyusul amendemen Undang-Undang Dasar 1945, GBHN diganti dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. (LAM)