Para pahlawan nasional itu merupakan teladan dan tokoh panutan bagi Indonesia. Sosok mereka dibutuhkan, terutama dalam menjaga identitas nasional.
Oleh
Marcellus Hernowo
·2 menit baca
Sebagai bagian dari Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan disebutkan, gelar itu untuk warga negara Indonesia atau orang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang gugur demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi luar biasa bagi NKRI.
Sejak diberikan pertama kali kepada politisi dan penulis Abdul Muis pada tahun 1959, hingga kini sudah ada 185 orang yang menerima gelar pahlawan. Tidak mudah mencari negara yang memiliki pahlawan nasional sebanyak Indonesia.
Terakhir kali gelar itu diberikan pada Jumat (8/11/2019) kepada enam orang. Tiga di antaranya ialah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu Abdul Kahar Muzakkir, M Masjkur, serta Alexander Andries Maramis.
Sosok mereka dibutuhkan, terutama dalam menjaga identitas nasional.
Tiga orang lainnya ialah M Sardjito (Guru Besar Emeritus Fakultas Kedokteran UGM), Sultan Himatayuddin Muhammad Saidi (Sultan Buton), dan Ruhana Kudus (wartawati sekaligus Pemimpin Redaksi Soenting Melajoe, surat kabar perempuan yang terbit di Padang, Sumatera Barat).
Para pahlawan nasional itu merupakan teladan dan tokoh panutan bagi Indonesia. Sosok mereka dibutuhkan, terutama dalam menjaga identitas nasional.
Terkait dengan hal itu, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional akan menjadi lebih bermakna jika diiringi dengan pembukaan seluas-luasnya sejarah bangsa. Pasalnya, dari sejarah yang bukan hanya milik para pemenang, kita akan dapat belajar lebih banyak dari masa lalu untuk melangkah lebih baik di masa depan.