Kesetaraan perempuan dan laki-laki Indonesia dalam dunia akademik sudah sejak lama berjejak. Salah satunya, saat Prof Dr Tudjimah dikukuhkan sebagai guru besar tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1965.
Oleh
Nasrullah Nara
·3 menit baca
Semangat mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki di Indonesia dalam dunia akademik sudah sejak lama berjejak. Salah satunya, saat Prof Dr Tudjimah, dikukuhkan sebagai guru besar tetap Bahasa Arab dan Sejarah Islam Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1965.
Harian Kompas (27/11/1965) mengulas, Tudjimah adalah perempuan pertama yang menjabat guru besar di UI. Sosok yang lahir di Yogyakarta 7 Desember 1922 itu, berasal dari keluarga pedagang, tetapi kerabat ibunya banyak yang menjadi akademisi. Setelah meraih sarjana muda di Universitas Gadjah Mada 1950, ia melanjutkan studi di UI bagian Sastra Timur (1950-1953). Kemudian ia memperdalam Bahasa Arab di Universitas Kairo, Mesir, hingga tahun 1955. Sekembalinya ke Tanah Air, ia meniti karir sebagai pengajar di UI.
Pencapaian Tudjimah dapat dimaknai sebagai salah satu tonggak pembuktian kesetaraan pria dan perempuan dalam berkarir di dunia akademik. Perubahan sosio kultur masyarakat dan kemudahan mengakses pendidikan tinggi pun secara berangsur mendorong kian banyak perempuan Indonesia berkiprah di ranah keilmuan hingga pencapai puncak karir sebagai guru besar maupun profesor riset. Kegiatan utama mereka lekat dengan penelitian baik di universitas maupun institusi riset, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Tidak sedikit peneliti dari kaum Hawa terbukti telaten, tekun, dan ulet. Contohnya, Endang Sutriswati Rahayu (64), guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Ia tercatat sebagai penerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara tahun 2017.
Tak ketinggalan, peneliti di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya, Ernie Maduratna Setiawatie (52) yang memperoleh hak paten untuk tujuh karya risetnya.
Contoh lain, Yayuk Rahayuningsih Suhardjono (68) dan Yosmina Hellena Tapilatu (41). Yayuk lebih dari 40 tahun menjadi peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI dan merupakan satu-satunya peneliti taksonomi Collembola (ekor pegas/sejenis serangga tanah) di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Adapun Yosmina, peneliti di Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI di Kota Ambon, Maluku, menjadi satu-satunya peneliti di Indonesia yang meriset mikroba di laut dalam, Bacillus mojavensis. Mikroba ini penghasil senyawa aktif yang berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan sel kanker darah.
Pada 2018, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat perempuan dosen juga kompetitif dalam memanfaatkan dana penelitian. Pada 2018, ada 18.433 dosen yang mengajukan proposal penelitian untuk 10 bidang. Dari jumlah itu, perempuan dosen yang mengajukan riset 8.552 orang (46 persen), sedangkan laki-laki dosen 9.881 orang (54 persen).
Di LIPI, jumlah perempuan peneliti tidak terpaut jauh dengan laki-laki. Dari total 1.711 peneliti di LIPI, sebanyak 936 laki-laki dan 775 perempuan (lebih dari 45 persen), tersebar di 147 bidang ilmu dengan 284 disiplin ilmu.
Saat ini, jumlah perempuan peneliti di LIPI jauh lebih tinggi dibandingkan persentase rata-rata perempuan peneliti di dunia yang menurut UNESCO sekitar 30 persen. (NAR)