Sesungguhnya sulit menemukan suatu falsafah dasar negara selengkap Pancasila, yang mencakup hubungan secara menyeluruh: manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, manusia dengan negara.
Oleh
Agnes Aristiarini
·2 menit baca
Sesungguhnya sulit menemukan suatu falsafah dasar negara selengkap Pancasila, yang mencakup hubungan secara menyeluruh: manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, manusia dengan negara. Pendek kata, ada transendental dan horizontal.
Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno saling melengkapi dalam upaya merumuskan lima asas negara. Oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)—dibentuk setelah BPUPKI dibubarkan—kelima asas itu disempurnakan menjadi Pancasila.
Meski demikian, perjalanan Pancasila sebagai dasar negara tidaklah mudah. Sejarah mencatat, Pancasila pernah dianggap sebagai simbol represi Orde Baru karena diimplementasikan dalam bentuk materi pembelajaran wajib setiap individu: pelajar, mahasiswa, guru, dosen, karyawan, dan aparat.
Di sekolah tingkat dasar dan menengah, Pancasila diajarkan dalam bentuk Pendidikan Moral Pancasila yang kemudian digabung dengan pendidikan kewarganegaraan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).
Perlu digali metode baru untuk mengajarkan Pancasila yang inklusif, mengandung nilai-nilai kebaikan universal, dan sejalan dengan agama apa pun.
Untuk mahasiswa dan karyawan, pegawai negeri maupun swasta, ada penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang sertifikat kepesertaannya menjadi syarat untuk kuliah maupun kenaikan jenjang kepegawaian.
Model pengajaran yang dogmatis dan tidak memberi ruang untuk penafsiran dan perdebatan membuat penataran P4 menjadi indoktrinasi. Tidak mengherankan bila begitu reformasi, penataran P4 ditinggalkan.
Kenyataannya pendulum zaman bergerak dari ekstrem kiri ke ekstrem kanan. Tumbuhnya radikalisme dan konservatisme keagamaan mengancam keberagaman, toleransi, bahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Hanya Pancasila yang bisa menjadi perekatnya.
Di sisi lain, masyarakat telanjur trauma dengan pola pengajaran Pancasila zaman Orde Baru. Oleh karena itu, perlu digali metode baru untuk mengajarkan Pancasila yang inklusif, mengandung nilai-nilai kebaikan universal, dan sejalan dengan agama apa pun.