Partai politik yang berkualitas. Itulah harapan yang hingga kini sering terdengar. Padahal, harapan itu antara lain juga pernah disampaikan Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Sudomo.
Oleh
·2 menit baca
Partai politik yang berkualitas. Itulah harapan yang hingga kini sering terdengar. Padahal, harapan itu antara lain juga pernah disampaikan Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Sudomo. Kompas edisi 16 Desember 1980 memberitakan, Sudomo meminta agar partai politik (parpol) memiliki tenaga ahli di bidang nonpolitik, seperti ekonomi dan sosial.
Mereka yang lulusan SMA atau syarat pendidikan minimal untuk menjadi anggota DPR hanya 9,7 persen. Sisanya lulusan D-3 dan pendidikan lainnya.
Jika melihat latar belakang pendidikan kader parpol di DPR, kini harapan itu rasanya tak sulit dipenuhi. Dari 575 anggota DPR saat ini, terbanyak, yaitu 210 orang (36,5 persen), adalah lulusan S-2. Setelah itu lulusan S-1 dan D-4 (34,4 persen), lalu S-3 orang (9,2 persen). Mereka yang lulusan SMA atau syarat pendidikan minimal untuk menjadi anggota DPR hanya 9,7 persen. Sisanya lulusan D-3 dan pendidikan lainnya.
Persentase itu relatif tidak berubah jika dibandingkan dengan anggota DPR 2014-2019, dengan 43,06 persen berpendidikan S-1. Sebanyak 38,2 persen berpendidikan S-2, lalu doktor ada 8,65 persen. Selanjutnya berpendidikan SMA (8,47 persen) dan diploma (1,62 persen). Selain umumnya berpendidikan tinggi, latar belakang keilmuan anggota DPR juga beragam. Guru besar bidang ekonomi, misalnya, kini tak sulit dicari di DPR.
Namun, keluhan terhadap kinerja dan tingkah laku anggota DPR tetap muncul.
Namun, keluhan terhadap kinerja dan tingkah laku anggota DPR tetap muncul. Sebagai misal, selama lima tahun kerjanya, DPR 2014-2019 hanya merampungkan 91 dari 189 rancangan undang-undang yang ditargetkan. Sebanyak 23 anggota DPR periode lalu juga diproses hukum karena korupsi. Selain itu, jajak pendapat Kompas, September 2019, menunjukkan, 62,9 persen responden merasa aspirasinya tak diwakili oleh DPR.
Melihat kondisi ini, agaknya masalah utama di parpol bukan berapa banyak kader terpelajar yang dimiliki. Namun, sistem merit yang belum terbangun, politik uang, hingga ancaman oligarki. Kondisi ini membuat orang terpelajar di parpol punya tantangan yang amat besar untuk dapat secara optimal menggunakan kemampuannya di parpol dan politik secara umum. (NWO)