Mari menoleh sekitar lima dasawarsa ke belakang pada awal masa pemerintahan Orde Baru. Jauh sebelum mutu pendidikan dipolemikkan dengan hajatan ujian nasional, bangsa ini pernah berkutat soal akses pendidikan.
Oleh
Nasrullah Nara
·2 menit baca
Lupakan sejenak rencana penghapusan ujian nasional. Mari menoleh sekitar lima dasawarsa ke belakang pada awal masa pemerintahan Orde Baru. Jauh sebelum mutu pendidikan dipolemikkan dengan hajatan ujian nasional, bangsa ini pernah berkutat soal akses pendidikan.
Harian Kompas (19/12/1972) mewartakan ledakan jumlah lulusan sekolah dasar (SD) yang tidak tertampung pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Jumlah murid SD yang lulus tahun itu sekitar 1,34 juta orang, padahal daya tampung SLTP hanya 807.000 murid. Fenomena ini merembet ke jenjang yang lebih tinggi. Pelajar yang lulus SLTP tahun itu sekitar 512.000 orang, sementara SLTA hanya sanggup menampung 138.000 murid.
Kala itu, pada masa perekonomian negara menikmati bonanza harga minyak dunia, pemerintah membangun SD inpres secara masif di seluruh Tanah Air seiring mulai tumbuhnya kesadaran warga menyekolahkan putra-putrinya. Menyikapi hal itu, pemerintah menambahkan pendidikan keterampilan pada muatan kurikulum. Tidak disebutkan keterampilan jenis apa yang diajarkan pada masa itu saat peradaban bangsa ini masih merangkak dari agraris ke industri.
Dengan mendapatkan pendidikan, warga negara dapat mengembangkan potensi dirinya menuju hidup layak
Pentingnya muatan keterampilan dalam kurikulum sempat disuarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Institusi riset ini menengarai banyaknya lulusan SD-SLTP menganggur karena yang diajarkan di sekolah tak relevan dengan di dunia kerja (Kompas, 24/6/1977).
Berangkat dari sinilah muncul istilah link and match (keberkaitan dan keberpadanan antara dunia pendidikan dan dunia kerja). Pada era pemerintahan Joko Widodo, hal ini lebih ditekankan pada pendidikan vokasi. Bersamaan dengan itu, pendidikan nonformal pun terus diperkuat melalui kesetaraan Paket A, B, dan C. Pendidikan diyakini sebagai tangga mobilitas vertikal. Dengan mendapatkan pendidikan, warga negara dapat mengembangkan potensi dirinya menuju hidup layak.