Salahkah membebaskan tentara yang ditawan dan salahkah menjadi negara berkekuatan nuklir? Demikian teriakan para pendukung Partai Rakyat seperti dituliskan Gulf News, 5 April 2019. Ini dalam rangka mengenang 40 tahun Zulfikar Ali Bhutto yang wafat karena dihukum gantung pada 4 April 1979.
Ali Bhutto menjadi Presiden Pakistan pada 1971 setelah Yahya Khan mundur karena desakan massal. Ali Bhutto, lewat Partai Rakyat Pakistan yang dia didirikan, juga terpilih menjadi perdana menteri karena kemenangan partai pada 1973 hingga 1977.
Saat memerintah, Ali Bhutto melakukan nasionalisasi dan meluncurkan program pro rakyat. Dia juga mendambakan kehidupan sosialis dan bersahabat dengan China, tetapi membiarkan adanya sentimen anti-India.
Menlu AS Henry Kissinger mengakui Ali Bhutto sebagai tokoh penting walau pernah memperingatkan Bhutto tentang kebijakan China. Kekaguman juga datang dari rakyat, khususnya dari kaum tidak berkelas. Namun, Ali Bhutto tidak berkenan bagi kelompok militer, pebisnis, kaum elite negara, yang juga sarat dengan dominasi para pemimpin lokal/provinsi.
Ali Bhutto jelas dikagumi rakyat. Ini terbukti dengan popularitas Partai Rakyat, yang kelak dilanjutkan almarhumah putrinya, Benazir Bhutto, yang dua kali menjabat PM Pakistan. Pamor politik keluarga dilanjutkan suami Benazir, Asif Ali Zardari, dan kini dilanjutkan Bilawal Bhutto Zardari, putra Benazir.
Namun, Bhutto juga dianggap sebagai kriminal, bahkan digantung, walau tidak pernah jelas kesalahan Ali Bhutto. Saat Partai Rakyat berkuasa, misteri pengadilan 40 tahun lalu juga tidak terungkap tuntas.
Apa pun, Pakistan terlihat tidak memiliki alternatif pemimpin, entah yang hadir dari kalangan militer ataupun sipil. Buktinya, Partai Rakyat dan pamor Bhutto tetap harum dan terus didamba rakyat. Penerus dinasti Bhutto juga kerap dituding korup, seperti pernah dituliskan oleh Pakistan Today, 9 April 2019. Ini sebuah peringatan bagi penerus Bhutto. (MON)