Gagasan menjadikan Indonesia ke dalam 10 besar olahraga prestasi dunia sudah didengung-dengungkan Presiden Soekarno pada 1963. Untuk mewujudkannya, dibuatlah rencana 10 tahun olahraga.
Oleh
Yunas Santhani Azis
·2 menit baca
Gagasan menjadikan Indonesia ke dalam 10 besar olahraga prestasi dunia sudah didengung-dengungkan Presiden Soekarno pada 1963. Untuk mewujudkannya, dibuatlah rencana 10 tahun olahraga.
Positifnya, gagasan itu membuat olahraga (belum diartikan pendidikan jasmani) menjadi mata pelajaran resmi di sekolah. Di sisi lain, penetapan itu diikuti target jangka pendek yang muluk: sebuah jenjang prestasi nasional tahap pertama di akhir 1967.
Pada 1965, Kompartimen (Kementerian) Pendidikan dan Kebudayaan juga membentuk wadah penggerak olahraga sekolah, POPSI, Persatuan Olahraga Pelajar Se-Indonesia. POPSI harus ada di tiap sekolah, hingga tataran kelas. Tahun 1966, Maladi kembali menginstruksikan jajarannya melaksanakan program olahraga pelajar sehebat-hebatnya.
Tak lama berselang, pernyataan Maladi bertolak belakang dari semangat mengejar prestasi. Dia menekankan, ujian mata pelajaran olahraga tidak boleh dititikberatkan pada penilaian prestasi.
Aspek terpenting penilaian adalah di bidang mental: apakah si murid rajin dan bersemangat untuk maju. Dengan begitu, setidaknya murid didorong untuk memiliki fisik yang baik (Kompas, 5 Maret 1966).
Pada 1967, rencana 10 tahun olahraga ditinjau kembali kegunaannya, lalu dicabut. Hal itu disampaikan Direktur Olahraga Soekamto Sajidiman di hadapan para mahasiswa STO dan para wakil organisasi olahraga di Bandung, Jawa Barat (Kompas, 7 Juli 1967).
Menjadikan pendidikan jasmani sebagai kendaraan prestasi memang salah kaprah. Apalagi dengan mengacu pada formula modern: long term athlete development (LTAD) yang bermuara pada manfaat olahraga bagi semua.
Pendidikan jasmani merupakan hak setiap anak untuk memperoleh manfaat fisik dan sosial dari olahraga, bukan manfaat bagi kebijakan politik elitis. ”Kamu boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan gagasanmu,” begitu tulis penyair Kahlil Gibran tentang anak.