Selama dua bulan belakangan ini, berdasarkan pengamatan Kompas, jumlah pengunjung beberapa toko buku dan perpustakaan di Jakarta melejit jauh ketimbang sebelumnya.
Oleh
·2 menit baca
Kesadaran untuk membaca buku sebagai proses menyimak pengetahuan secara sistematis bukanlah sesuatu yang langka di negeri. Di tengah keprihatinan akan lemahnya budaya baca di masyarakat, ada baiknya kita mengulik fenomena masa lalu guna memperkaya perspektif gerakan literasi.
Harian Kompas edisi 14 Maret 1979 mewartakan fenomena berjubelnya pengunjung toko buku dan perpustakaan hampir tiap hari. Amatan Kompas selama dua bulan kala itu menunjukkan betahnya pelajar berada di toko buku maupun perpustakaan, mulai dari sekadar membolak-balik halaman, membaca bagian tertentu, hingga membelinya. Hal ini ini terjadi di sejumlah tempat di Jakarta, seperti di toko buku Gunung Agung (Kramat, Kwitang), Gunung Mulia (Kramat Kwitang, serta Gramedia (Kota).
Fenomena ini dimaknai sebagai pesan optimisme bahwa semangat berliterasi di Tanah Air sebetulnya tidak nihil-nihil amat. Setidkanya, hal ini dapat menyemangati gerakan literasi yang dimotori lima tahun terakhir oleh berbagai kalangan terutama anak-anak muda.
Patutlah diapresiasi bahwa dulu semangat literasi perlahan tumbuh karena berangkat dari kesadaran untuk mengenyam pengetahuan secara utuh. Kesadaran memahami aneka hal secara konseptual di tengah masih terbatasnya sumber-sumber informasi. Padahal, sebagai bagian dari negara berkembang, penduduk Indonesia kala itu umumnya masih berkutat pada kebutuhan primer. Membaca buku tentulah sebuah kemewahan.
Dalam masyarakat yang keranjingan akan perangkat digital (gawai), pemahaman yang tidak utuh akan sebuah informasi berpotensi memicu lahirnya hoaks.
Di era sekarang, minat baca melorot justru terjadi di tengah melubernya sumber-sumber informasi dengan segala varian konten yang dapat diakses dengan gratis. Minat warga untuk membaca potongan informasi melalaui gawai lebih kuat ketimbang memelototi informasi di buku secara sistematis dan mendalam. Dalam masyarakat yang keranjingan akan perangkat digital (gawai), pemahaman yang tidak utuh akan sebuah informasi berpotensi memicu lahirnya hoaks.
Pada 2015, di negeri ini terdapat lebih dari 70 juta pengguna internet atau 28,3 persen dari penduduk Indonesia. Survei UNESCO tahun 2011 menunjukkan hanya satu dari 1.000 penduduk Indonesia memiliki minat serius membaca. Maret 2016, sebuah survei internasional menunjukkan Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei (Kompas, 17/5/2017)
Angka ini selaras hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 yang menunjukkan frekuensi membaca orang Indonesia hanya 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per hari hanya 30-59 menit. Tidak sampai satu jam. Waktu membaca ini jauh di bawah standar UNESCO, yakni 4-6 jam per hari. Adapun jumlah buku yang ditamatkan masyarakat Indonesia hanya 5-9 buku per tahun (Kompas, 12/9/2018). Alangkah terjalnya jalan untuk literasi.... (NAR)