Pemda Jawa Tengah melarang pendirian sekolah menengah atas (SMA) swasta baru. Kebijakan itu dilakukan karena SMA-SMA swasta di Jawa Tengah sudah terlalu banyak.
Oleh
·2 menit baca
Jauh sebelum Presiden Joko Widodo mendorong sekolah menengah kejuruan atau SMK sebagai upaya mengatasi pengangguran, keberpihakan pemerintah pada pendidikan vokasi sudah muncul sejak dekade 1970-an. Di Jawa Tengah tidak diizinkan lagi pendirian SMA swasta yang baru, kecuali sekolah tersebut diarahkan ke sekolah kejuruan.
Harian Kompas edisi 23 Maret 1972 mewartakan, lulusan SMA swasta di Jawa Tengah meluber tanpa diimbangi dengan mutu. Bersamaan dengan itu dimulai penjurusan sekolah-sekolah umum pada sekolah-sekolah komprehensif. Presiden Soeharto pun mendorong sekolah sebagai penyedia angkatan kerja yang memiliki kecakapan khusus. Menyiasati keterbatasan anggaran, sekolah bersinergi dengan industri (Kompas, 28/3/1972).
Semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (2004-2009), jumlah SMK diperbanyak dari SMA, dengan rasio 65:35. Dari sisi penyerapan angkatan kerja, SMK dinilai mempunyai nilai lebih dibandingkan lulusan SMA karena lulusannya mempunyai keterampilan tertentu (Kompas, 2/3/2006).
Semasa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), SMK kembali diperkuat dengan persoalan yang berbeda.
Semasa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), SMK kembali diperkuat dengan persoalan yang berbeda. Kala itu, penganggur dari lulusan SMK justru membeludak dibandingkan lulusan SMA. Badan Pusat Statistik mencatat, pada Februari 2016 tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK adalah 9,84 persen. Ada 1,35 juta orang lulusan SMK yang menganggur pada saat itu.
Sementara persentase pengangguran di antara lulusan SMA adalah 6,95 persen, dan sedangkan tingkat pengangguran di kalangan lulusan diploma satu hingga diploma tiga adalah 7,22 persen (Kompas, 17/10/2016). Kecakapan yang diajarkan di SMK tidak selaras dengan industri. (NAR)