Dari Pembuang Sesajen ke Komunitas Spiritualitas Lokal yang Dipinggirkan
Sesajen selayaknya tak dilihat semata-mata sebagai ekspresi spiritualitas komunitas di kaki Semeru. Penghormatan pada sesajen bukan hanya untuk komunitas Penghayat Kepercayaan Jawa tetapi pada semua bentuk simbolik lain.
Oleh
Ashadi Siregar
·4 menit baca
Sesajen sedang naik daun. Dalam istilah digital, menjadi viral. Maka walaupun dalam konteks negatif, penendang dan pembuang sesajen di kaki Semeru boleh dibilang berjasa. Aksinya sebagai adegan yang mengandung dramaturgi, yaitu makna bergayut dengan realitas dalam kehidupan masyarakat.
Dengan viral digital, sebutan sesajen hidup dan meluas ke media konvensional sehingga menjadi pemberitaan berhari-hari. Sesajen sebagai fenomena tradisi lokal, mendapat perhatian masyarakat luas baik yang masih menjalankan lelaku sesajen maupun tidak.
Selama ini media pers umumnya sudah menunjukkan sikap menghormati tradisi ini. Berbagai ritual budaya oleh komunitas adat mendapat tempat dalam pemberitaan.
Ritual komunitas
Setelah pandemi mereda, dan vaksinasi Covid-19 meluas, upacara adat yang tidak dapat diselenggarakan dua tahun sebelumnya, kini dapat diwujudkan. Ritual ini menjadi ajang reuni bagi warga komunitas.
Tentu dalam konteks modern sebagai obyek tontonan bagi para pelancong. Biasanya pemerintah daerah membingkai dukungannya dalam kerangka pariwisata, bukan untuk ritual adat dalam konteks spiritualitas. Komunitas adat berbasis spiritualitas masih dipinggirkan di Indonesia.
Oleh karenanya, wacana dari rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, agar masyarakat memaafkan si penendang dan pembuang sesajen perlu disikapi secara proporsional. Tentu masyarakat yang dimaksud adalah komunitas penaruh sesajen di kaki Semeru.
Komunitas berbasis spiritualitas seperti Sunda Wiwitan, Penghayat Kepercayaan Jawa, Ugamo Parmalim, Kaharingan dan lainnya, puluhan tahun dimarginalisasi oleh negara maupun pemangku agama yang diakui negara. Oleh karenanya, tidak masuk nalar untuk dimintakan maafnya.
Bahkan sebaliknya, masyarakat dan negara perlu minta maaf kepada komunitas spiritualitas lokal Nusantara atas kesewenang-wenangan dari kekuasaan negara maupun pemangku agama resmi yang mereka alami selama ini.
Sesajen selayaknya tak dilihat semata-mata sebagai ekspresi spiritualitas komunitas di kaki Semeru.
Bagi rektor UIN Sunan Kalijaga dan slagorde-nya, permintaan maaf mewakili penendang dan pembuang sesajen yang ternyata mantan muridnya ini akan mencerminkan intelektualitas kampus yang menghargai keberagaman yang proporsional, terutama menunjukkan pengakuan dan penghormatan atas komunitas berbasis spiritualitas yang tersebar di antero Nusantara. Jangan toleransi itu dimaksudkan hanya untuk ko-eksistensi di antara agama-agama yang diakui negara.
Sesajen selayaknya tak dilihat semata-mata sebagai ekspresi spiritualitas komunitas di kaki Semeru. Penghormatan pada sesajen bukan hanya untuk komunitas Penghayat Kepercayaan Jawa. Tetapi juga secara umum pada semua bentuk simbolik dari artefak indigenous spiritualitas Nusantara.
Artefak dan ritual budaya boleh saja jadi obyek turisme, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah menghormati makna spiritualitas di dalamnya. Ini toleransi yang tidak kalah pentingnya dalam menerima keberadaan agama dan kepercayaan indigenous lokal Nusantara. Artinya, menerima dan menghormati manusia dengan spiritualitasnya yang otentik, tidak atas dasar nilai subyektivitas kita sebagai pemeluk agama yang diakui negara.
Produksi Video
Nah, kembali pada aksi si penendang dan pembuang sesajen, boleh dilihat sebatas aktualisasi keyakinan pribadi. Walaupun menimbulkan tanda tanya dari sisi sosiologis, mengingat pelaku berasal dari Lombok, daerah yang masyarakat aslinya biasa bergaul erat dengan umat Hindu Bali yang biasa menyediakan sesajen. Banten sebagai sarana upakara biasa ditemukan di berbagai tempat di Lombok.
Karena itu, dari sisi lain dapat dilihat perilaku bermedia. Tidak jelas apakah konten yang viral itu diproduksi dengan kamera video atau gawai telepon seluler. Yang mana pun dipakai, ini merupakan contoh dari euforia bermedia digital dengan kemudahan memeroduksi konten video. Dorongan memviralkan konten sudah jadi penyakit psikis yang akut saat ini.
Sering dilupakan bahwa setiap konten video akan mengandung dramaturgi dan cara produksi. Komunikasi bermedia dalam skala paling sederhana sampai spektakuler, selalu bertolak dari perencanaan yang akan mencerminkan maksud yaitu makna tematik dari pesan, dan tujuan yaitu efek komunikasi yang diharapkan.
Video penendang dan pembuang sesajen diproduksi tidak dengan swafoto, atau diambil dari kamera pengintai (CCTV), tetapi melibatkan kameramen atau setidaknya menggunakan tripod. Artinya, ada perencanaan. Jika melibatkan kameramen, dapat menjadi saksi atas maksud dan tujuan produksi.
Dorongan memviralkan konten sudah jadi penyakit psikis yang akut saat ini.
Untuk produksi dengan tripod, tentu pelaku yang perlu menjelaskan maksud dan tujuan produksi serta upaya memviralkannya. Dalam konteks media, tanpa penjelasan eksplisit dari komunikator, dari aksi pada adegan, dapat ditafsirkan maksud dan tujuan produsen video.
Mau dimaafkan, dibebaskan dari tuntutan hukum atau perlu ditampilkan secara khusus melalui dramaturgi ala video polisi — yaitu pelaku berakting memelas dan minta maaf ke khalayak— tak terlalu penting untuk dibahas. Konten video, dan seluruh riak yang ditimbulkan dari perilaku penendang dan pembuang sesajen, sebaiknya dijadikan pembelajaran tentang toleransi yang lebih luas.
Akan lebih produktif jika UIN Sunan Kalijaga yang juga punya program studi komunikasi/media, menyediakan dana untuk pelaku guna mensponsori perjalanan dan produksi video dengan perspektif penghormatan atas komunitas spiritualitas indigenous Nusantara. Tidak perlu mengobral kata maaf-memaafkan yang sangat mudah diproduksi.