Miraj mengajarkan tentang rongga dialog yang harus terus dibuka. Dialog yang bukan berhenti sebatas saling memahami, tumbuhnya toleransi, dan tertanamnya sikap moderasi, tetapi harus lebih dari sekadar itu.
Oleh
ASEP SALAHUDIN
·5 menit baca
Karen Armstrong kembali menerbitkan buku terbarunya (2021), The Lost Art of Scripture: Menikmati Sunyi, Bunyi, dan Visi dalam Menghayati Pesan Agama. Saya kira buku ini sangat relevan untuk konteks keindonesiaan dengan agama yang beragam dan multikultural. Armstrong dengan tekun melacak semua kitab suci sepanjang sejarah manusia dan mengungkap jeroan agama sampai kemudian tersibak hakikatnya. Bahwa hakikat agama yang benar mengajarkan umat manusia hidup berdampingan, penuh kasih. Kembali pada agama-agama artinya tiba pada Yang Sakral untuk selanjutnya giat menata hidup dalam terang ilahiah.
Bahwa kitab suci seharusnya dibaca tidak saja mengandalkan kekuatan otak kiri yang serba harfiah, hitam putih, dan skriptural, tetapi sudah saatnya melibatkan secara intim otak kanan agar kitab suci kembali berbunyi seperti alunan musik yang menggetarkan jiwa. Sehingga, tafsiran kitab suci, alih-alih saling diperebutkan, dijadikan ”api unggun” tempat semua umat beragama berkumpul mencari kehangatan, pencerahan, dan saling belajar satu dengan lainnya.
Kekerasan atas nama apa pun tidak hanya tertolak, tetapi juga jadi parameter otentisitas agama itu sendiri. Keaslian agama harus diletakkan pada kesungguhan umat beragama menghadirkan hidup yang menjauh dari konflik dan menepis ketegangan. Agama jadi inspirasi abadi bagi kepastian cinta kasih menjadi jalan keutamaan.
Tanggal 27 Rajab yang bertepatan dengan 28 Februari 2022 bagi umat Islam dipandang penting karena mengingatkan pada peristiwa kenabian Isra Miraj. Peristiwa yang melambangkan tentang langit spiritualisme yang bertaut dengan dunia materialisme.
Isra adalah perjalanan malam dari Masjidil Haram yang ada di Mekkah menuju Masjidil Aqsa yang berlokasi di Jerusalem, tempat kelahiran para nabi yang sekarang menjadi medan sengketa banyak pihak. Sementara mirajpenanda kenaikan Sang Nabi menuju Tuhan, menggapai puncak kearifan yang dikenal dengan sidratul muntaha. Sidrah artinya ’pohon bidara’ dan al-muntaha berarti ’yang paling ujung’.
Namun, Kanjeng Nabi tidak berhenti di langit, tetapi justru turun lagi menyatu dengan hiruk-pikuk manusia. Nabi menjadi bagian dari gemuruh sejarah. Mirajsebagai tempat transit spiritual sebagai modal rohaniah dalam rangka mengabarkan pesan-pesan kebaikan, menyerukan alternatif hidup yang tidak terkerangkeng tubuh, tetapi melampaui tubuh. Hidup dengan cita-cita, harapan, dan masa depan yang menjanjikan. Atau dalam kata-kata mistikus Benediktin yang dikutip Armstrong, ”Kita adalah jagat kecil, mikrokosmos yang di dalamnya makrokosmos hadir sebagai hologram. Kita dikelilingi oleh realitas transenden atau yang bergerak melampaui pemahaman konseptual kita.”
Miraj sebagai tempat transit spiritual sebagai modal rohaniah dalam rangka mengabarkan pesan-pesan kebaikan, menyerukan alternatif hidup yang tidak terkerangkeng tubuh, tetapi melampaui tubuh.
Mirajmenjadi counter culture sekaligus kontranarasi atas paham keagamaan yang dogmatik, tertutup, dan hitam putih. Lewat miraj,agama dikembalikan lagi pada khitahnya: sebagai realitas tertinggi atau dalam istilah Martin Heidegger Sein (being atau wujud), di mana energi fundamental tentang kebaikan bisa diterapkan. Tuhan, Brahman, Dao, Elohim menjadi ”fungsional” karena spiritnya menjadi gelombang penunjuk arah manusia cepat menemukan hakikat imannya, tiba pada inti keyakinannya yang asasi.
Atau dalam istilah Frederick Streng, ”Agama adalah sarana transformasi tertinggi. Transformasi tertinggi adalah perubahan mendasar dari keadaan terperangkap dalam masalah-masalah eksistensi bersama (dosa, kebodohan) menjadi hidup dalam cara tertentu sehingga seseorang dapat mengatasi masalah-masalah ini pada tingkat paling dalam. Kapasitas untuk hidup seperti itu memungkinan seseorang mengalami realitas yang paling otentik atau terdalam—yang tertinggi”.
Jalan dialog
Konon ketika bermiraj, Nabi dipertemukan dengan nabi-nabi terdahulu, melakukan komunikasi intensif sekaligus menerima masukan mereka tentang kuantitas sembahyang. Bagi saya, riwayat purba seperti ini menjadi isyarat tentang agama-agama yang terhubung satu dengan lainnya, dipersatukan oleh kearifan perenial (al-hikmah al-khalidah) dan kebaikan universal.
Miraj mengajarkan tentang rongga dialog yang harus terus dibuka. Dialog yang bukan berhenti sebatas saling memahami, tumbuhnya toleransi, dan tertanamnya sikap moderasi, tetapi harus lebih dari sekadar itu, dialog adalah satu jalan untuk merengkuh ”ada”. Dialog sebagai jembatan sampai pada pengalaman eksistensial bahwa kehadiran orang lain sesungguhnya yang membuat kehadiran kita menjadi bermakna dan memiliki arti. Konsep diri kita didefinisikan orang lain.
Miraj mengajarkan tentang rongga dialog yang harus terus dibuka.
Dialog menjadi alas setiap kita bisa menyelami keunikan pengalaman keagamaan yang paling subtil yang diacukan pada upaya terus-menerus menemukan jawaban atas problem kemanusiaan yang pelik. Dialog yang tidak melulu berporos pada tema ketuhanan yang abstrak-metafisis, tetapi diarahkan menjadi sebuah percakapan setara dengan kesadaran yang kritis, transformatif, dan konstruktif. Refleksi teologis akhirnya hadir dengan kemampuan menampilkan warna iman yang toleran dan meneduhkan.
Sebagaimana disampaikan Hans Kung, bahwa roh agama dan hakikat religiositas diletakkan pada hamparan kemanusiaan. Agama jauh lebih penting untuk dihayati daripada melulu didiskusikan di ruang seminar atau dibedah di meja akademik yang serba teoretik. Dan penghayatan itu menjadi benar manakala tersambung dengan cara hidup yang benar dan lurus.
Dialog yang berangkat dari upaya meletakkan kebenaran iman tidak pada kekuatan teks itu sendiri, tetapi sejauh mana teks ini membawa perubahan ke arah hidup lurus. Dialog yang mengandaikan teologia semper reformanda (teologi yang tak henti diperbarui).
Dialog menjadi jalan lapang menuju Tuhan. Dalam napas seperti ini, Al Quran memperkenalkan istilah sirath, subul, syirah, mansak, atau thariqat. Semua itu merujuk pada makna agama sebagai jalan menuju Tuhan. Lukulli minkum syiratan wa mihaja. Kata sabil sering kali diperkenalkan dalam bentuk jamak subul yang artinya jalan yang banyak. ”Dan dengan Al Quran itu Allah akan memberikan petunjuk kepada siapa yang ingin mencapai rida-Nya dengan berbagai jalan keselamatan (subulus salam).” Dalam ayat lain lebih terang lagi dinyatakan, ”Mereka yang sungguh-sungguh mencari jalan-Ku, pasti akan Kami tunjukkan mereka berbagai jalan-Ku.”
Miraj sebagai hologram spiritual sekaligus jalan dialog yang memungkinkan hidup lebih berarti.